Langit sore merona jingga. Larik-larik awan menggantung rendah di atas cakrawala. Sang raja siang perlahan meredupkan sinarnya. Terik yang perlahan menghangat. Menelusup lembut, menerbitkan kosong di dada para perindu.
Kinan baru tiba di rumah. Membersihkan diri dari penat raga dan pikiran. Membasuh sisa-sisa tanah pemakaman yang menempel di badan. Biarkan ia mengalir bersama kenangan.
Selebihnya, memilih duduk berlama di balik jendela. Membiarkan senja membaluri hatinya.
Betapa sepinya Juna di sana.
Aroma tanah basah dan lembut wangi kamboja masih terngiang di benak. Terjebak dalam labirin sarafnya yang tak hendak beranjak.
[Mbak Kinan, bisakah ke kedai kami sekarang juga?]
Gawainya bergetar. Ada rasa enggan untuk menggapainya. Tak seperti hari-hari berlalu. Saat kedipan benda persegi itu membuatnya berseri. Chat sederhana dari Juna. Meski jauh dari pesan cinta. Namun tetap saja membuatnya berbunga-bunga.
[Ada apa ya, Mas?]
[Ada barang milik mas Juna yang tertinggal di kedai]
[Barang apa?]
[Hanya buku kecil. Berisi catatan berbagai alamat email. Mungkin penting. Kami menghubungi karena ada nama Mbak Kinanti di dalamnya]
Kinanti terkesiap. Terjebak ragu. Haruskah dia mengambilnya, atau membiarkan cerita usai? Sungguh, ia tak ingin rindunya makin menganga.
Buku catatan kecil berwarna biru. Warna favorit Juna. Sebesar setengah layar ponsel delapan inci. Kini ada di genggaman Kinan.
Hanya ada memo rapat dan deadline kerjaan. Juga beberapa alamat email.
Kinan membalik cepat lembaran buku itu. Di halaman menjelang akhir, ia dapati sesuatu yang kini terasa amat penting. Sebuah alamat email: diary_juna@gmail.com. Sebaris tepat di bawahnya, tertulis sebuah nama: Kinanti.
Tuuuuut...
"Duh, Aris. Angkat dong," gemas Kinan mondar-mandir mencoba menghubungi Aris.
"Nomor yang anda hubungi, sedang tidak aktif. Atau berada di luar jangkauan."