Arkanora, Velvety Clues

Feynindya Azra Fathiya
Chapter #1

Kopi dan Cheesecake

Udara pagi di Morning Dew masih dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh. Kafe itu tenang, hanya ada suara gesekan kursi dan dentingan sendok mengenai cangkir porselen serta suara langkah kaki pelanggan yang baru datang.

Di tengah keheningan yang terasa hangat, jari jemari panjang menari diatas keyboard meski mata keabu-abuan terus memandang layar tanpa berkedip dengan konsentrasi. Kata demi kata merangkai kalimat yang mengalir tanpa hambatan seakan jarinya telah otomatis mengikuti aliran pikiran tanpa henti. Cheesecake yang terhidang di atas piring tidak tersentuh selama 15 menit sang perempuan menulis, juga dengan Pistachio Latte yang tersuguh dan asap yang telah lama mengepul. Headphone di telinganya terus memutar lagu.

Seorang lelaki melangkah masuk ke kafe, langkahnya santai. Dia tampak seperti orang yang belum tidur semalaman, tapi tetap terlihat elegan dengan jas semi-formal yang agak kusut. Dengan ekspresi datar, dia langsung menuju kasir.

“Lima espresso, dalam cangkir terpisah.”

Barista yang sudah hafal kebiasaannya tidak terkejut. Tapi saat dia berbalik, siap membawa nampan berisi lima cangkir kopi, tatapannya seketika tertuju—seorang gadis yang duduk sendirian, berbicara dengan dirinya sendiri.

Dia diam sebentar, mengamati.

 Sang gadis mengerutkan dahinya, konsentrasinya sedikit teralih dan meraih minuman yang telah ia pesan, mencoba meraih inspirasi yang mendadak hilang tentang bab terbaru dari novel kriminalnya.

“Apakah harus menggunakan ancaman?” Gumamnya, mengetuk ujung pulpen, “Hanya satu hal yang kuinginkan darimu dan itu kematian di atas piring perak,”

“Lo bicara dengan siapa?” Suara seorang lelaki mengudara tiba-tiba, datar tapi jelas. Gadis itu tersentak, hampir menumpahkan Pistachio Latte-nya. Dia mendongak dan mendapati di depannya seorang pria dengan mantel panjang, tangan yang memegang gelas kopi, dan mata biru yang terlihat nyaris bosan tapi juga tajam seperti seseorang yang bisa menghitung probabilitas kematian seseorang dalam hitungan detik.

“Gue? Ga lagi ngomong sama siapa-siapa,”

“Benarkah? Lo baru saja mengancam seseorang.”

“Itu… gue lagi menulis.”

“Lo seorang detektif?”

Perempuan tersebut menatapnya dengan ekspresi bingung dan sedikit tersinggung.

“Apa?”

“Kalau bukan, lo harus berhati-hati. Mengancam orang di tempat umum bisa jadi masalah hukum.”

“…Gue lagi nulis novel.” Gadis tersebut menatap lelaki dengan campur aduk.

Lelaki itu mengangkat alis, lalu tanpa aba-aba menarik kursi dan duduk di depannya, meletakkan lima cangkir espresso di meja.

"Gue perlu tempat," katanya santai. "Dan lo kelihatan menarik."

Gadis itu masih ternganga. Ini siapa? Kenapa tiba-tiba duduk di sini? Astaga! Masih terdapat banyak tempat yang kosong!

Lelaki itu mengambil salah satu cangkir, menyesap kopinya perlahan sebelum menatapnya lagi. "Jadi, lo menulis novel tentang detektif?"

Gadis itu menyipitkan mata curiga, raut mukanya berubah. "Iya. Memangnya kenapa?"

"Gue cuma penasaran." Dia bersandar ke kursi, menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya, dengan suara yang terlalu santai untuk sesuatu yang seharusnya serius.

"Kalau mau membunuh seseorang di dalam ruangan tertutup, menurut lo lebih efektif menggunakan sianida atau elektromagnet yang menarik serpihan besi ke organ vital?"

Perempuan tersebut mengangkat kepalanya. Alisnya terangkat ketika sosok tersebut bertanya kepadanya. Akhirnya mengenali lelaki yang menjadi lawan bicaranya.

The Phantom Law Student. Ah- tapi dia lupa namanya.

Ini menarik.

"Habis lo nuduh gue ngancam orang, lo malah nanya pembunuhan?" Sang perempuan mendelik tajam.

"Ini teori, lo penulis, opininya patut dipertimbangkan," sahut sang lelaki dengan tenang.

"Gue harap itu pertanyaan akademis."

Lihat selengkapnya