24 November 2019.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika para pelayan kafe mulai membereskan meja dan kursi yang sudah kosong tanpa pengunjung. Semua meja sudah bersih kecuali satu yang terletak di sudut ruangan. Seorang laki-laki masih belum beranjak dari meja yang menghadap ke dinding kaca itu. Tidak ada makanan atau minuman di meja laki-laki itu. Hanya ada gelas kopi yang sudah kosong. Laki-laki itu tidak bergerak. Kepalanya tampak terkulai di antara kedua tangannya di atas meja. Irama napasnya tersengal-sengal meskipun kedua matanya masih tertutup.
"Sepertinya dia ketiduran," ucap seorang pelayan sambil menunjuk laki-laki tadi.
"Tolong bangunkan. Bilang saja kita sudah tutup," pelayan lainnya mengangguk lalu pergi menuju meja yang ditunjuk.
"Mas... Permisi," katanya sambil menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Mas... Mas?" tepukan pelayan itu kini berubah menjadi guncangan ringan. Namun laki-laki itu masih belum bergeming. Pelayan itu merasakan ada sesuatu yang janggal pada laki-laki di hadapannya.
"Mas? Bangun mas?!" laki-laki itu tiba-tiba tersentak setelah pelayan tadi mengguncang bahunya. Ternyata keringat telah membanjiri wajahnya.
Pelayan itu tampak terkejut. Firasatnya benar. Ada yang aneh dengan laki-laki itu. Kenapa laki-laki itu berkeringat padahal ruangan ini dilengkapi AC? Laki-laki itu terlihat seperti orang yang baru selesai berlari mengelilingi lapangan di saat Surabaya sedang dilanda hujan lebat seperti saat ini. Ekspresi wajah laki-laki itu menyiratkan kebingungan serta kepanikan.
"Maaf, Mas, kami sudah tutup," ujar pelayan itu sambil menunjuk jam dinding.
"Apa?!" laki-laki itu lalu memandang sekitar. Matanya bergantian menatap ke arah jam dinding dan pelayan di depannya. Terlalu banyak pertanyaan yang membanjiri kepalanya saat ini. Mengapa ia tiba-tiba berada di kafe ini pukul 2 pagi? Apa yang baru saja terjadi?
'Kenapa aku bisa ketiduran di sini?' tanyanya dalam hati. Ia lalu mengamati dinding kaca yang langsung menghadap ke jalan raya di depannya. Ada potongan-potongan ingatan yang samar-samar masuk ke otaknya.
"Kafe ini sudah tutup, Mas," ulang pelayan itu. Laki-laki itu hanya mengangguk, pertanda ia sudah mengerti apa yang harus ia lakukan: pergi dari kafe ini secepat mungkin.
Tiba-tiba ponsel laki-laki itu bergetar. Ia nampak termenung sejenak sambil memandangi ponsel di tangannya. Mata laki-laki itu membulat. Ia kaget setelah menyadari jika dirinya sedang menggenggam ponsel lamanya. Ponsel yang ia gunakan sewaktu dulu ia masih menjadi mahasiswa.
Sebuah nama muncul pada layar ponsel berwarna hitam itu. Bena. Laki-laki itu langsung mengingat nama itu. Bena adalah sahabatnya sejak kuliah. Tapi kenapa Bena meneleponnya sepagi ini?