Perempuan itu berdiri di tepi pantai. Semilir angin membelai lembut wajahnya. Ia tersenyum selagi memandangi laut dan mendengarkan debur ombak. Tidak jauh dari tempat perempuan itu berdiri, seorang laki-laki sedang duduk sambil memandanginya.
“Sudah puas ngelihatin laut, Ta?” tanya laki-laki itu ketika perempuan yang sejak tadi dipandanginya menghampirinya. Perempuan itu hanya melemparkan senyum sebagai jawaban.
“Mau ikut aku, Ta?” tanya laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
“Mau ke mana, Ra?” perempuan itu kelihatan bingung, tapi ia menyambut uluran tangan laki-laki itu dan mengikutinya. Langkahnya terhenti ketika ia sadar jika mereka berjalan mendekati laut.
“Kenapa?” tanya si laki-laki.
“Aku enggak mau ke laut. Ingat?” wajah perempuan itu berubah serius. Namun laki-laki itu justru tersenyum hangat.
“Cuma ke pinggir, Ta. Kamu enggak mungkin tenggelam. Percaya sama aku, ya?” ucap laki-laki itu sambil menarik lembut tangan perempuan itu.
Keduanya lalu berjalan menuju tepi pantai. Ombak mulai menyapu kedua kaki mereka. Perempuan itu tersenyum sambil memandangi kakinya yang kini basah dan tertutup pasir.
“Segara,” kata perempuan itu pelan. “Nama kamu itu artinya laut kan, Ra?” laki-laki bernama Segara itu mengangguk memberikan jawaban.
“Kamu beneran mirip laut deh, Ra.”
Dahi laki-laki itu berkerut, namun bibirnya mengulas sebuah senyuman hangat. “Mirip dari mananya, Ta?”
“Kamu mirip laut. Sama-sama bikin aku tenang. Tapi sama-sama bikin aku takut juga,” perempuan itu perlahan melepaskan tangannya yang sejak tadi ada di genggaman Segara. Sesaat kemudian, raut wajah Segara berubah. Kini tidak ada kebahagiaan di dalam sorort mata laki-laki itu. Yang ada hanya kekosongan dan ketakutan.
Selepas mendengar perkataan perempuan itu, Segara merasakan angin kencang dan ombak besar mulai datang. Langit berubah menjadi gelap disertai petir. Ia berteriak mencoba memanggil perempuan di depannya. Tapi perempuan itu tidak berkutik.
“Atarangi!” teriak Segara yang membuat perempuan itu akhirnya menoleh. Pandangan perempuan itu hampa, seperti tidak ada jiwa dalam raganya. Segara merasakan sakit di sekujur tubuhnya hingga ia terjatuh. Matanya masih menatap lekat Atarangi ketika akhirnya kegelapan menyelimuti keduanya.
.....
25 November 2019.
“Woi bangun, Ra!” Bena menepuk keras punggung Gara. Gara langsung terperanjat lalu mengangkat kepalanya. “Tidur terus dari tadi,” lanjut Bena.
‘Itu tadi cuma mimpi?’ ujar Gara dalam hati. Ia memijat kedua pelipisnya, berusaha menjernihkan pikirannya dari apapun yang mengganggunya tadi.
“Capek, Ben,” jawab Gara malas. Laki-laki itu melonggarkan kancing kemeja atasnya lalu menyandarkan kepalanya pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja.
“Siapa suruh ngilang seharian terus kemarin malah main hujan?!” ejek Bena. “Udah tahu skripsi belum kelar malah main terus.”
Gara tidak menjawab. Ia tahu jika saat ini Bena sama lelahnya dengan dirinya. Kedua laki-laki itu sama-sama berkuliah di fakultas kedokteran dan semester ini sedang mengerjakan skripsi. Bena membiarkan Gara yang baru kembali setelah konsultasi skripsi dengan dokter pembimbingnya untuk istirahat sebentar.
“Ya, skripsi memang berat sih, Ra. Tenang, pasti selesai kok,” ucapnya sambil menepuk pundak Gara dengan maksud menenangkan sahabatnya itu. “Segara pasti lulus kok, hahaha,” Bena tertawa.
Namun, Bena tidak tahu jika bukan skripsi yang menguras energi Gara sekarang. Gara merasa letih karena selama dua hari ini pikirannya tidak berhenti bekerja memikirkan semua keanehan yang terjadi pada hidupnya. Laki-laki berkemeja abu-abu itu masih memaksa otaknya untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Puluhan atau bahkan ratusan pertanyaan kini berkeliaran di kepala Gara.
Bagaimana dirinya bisa terlempar kembali ke tahun 2019? Apa yang sebelumnya ia lakukan sehingga waktunya ditarik mundur sejauh 10 tahun ke belakang? Apa yang sebenarnya terjadi? Gara tidak bisa menemukan satupun jawaban dari pertanyaannya sendiri. Terlalu banyak keanehan dan kejanggalan pada cerita hidupnya kali ini. Apakah dia bermimpi? Tapi kalau ini benar mimpi, kenapa semuanya terasa sangat nyata? Berkali-kali Gara mencubit kulitnya, menampar pipinya, bahkan memukul dinding dengan kepalan tangannya. Sakit. Gara bisa merasakan sakit di tubuhnya. Artinya ia tidak sedang bermimpi.
Butir-butir keringat mulai muncul di dahi dan pelipis Gara selagi ia berusaha mengingat serpihan memorinya di tahun 2029. Ia masih bisa mengingat ketika dirinya gagal dalam ujian pendidikan dokter spesialis. Ingatan tentang perempuan itu juga masih tergambar jelas dalam kepalanya. Perempuan itu adalah salah satu alasan kenapa ia gagal melewati ujian. Perempuan itu juga yang menyebabkan dunianya jungkir balik selama bertahun-tahun. Apakah perempuan itu juga menjadi alasan mengapa ia berada di sini?
“Ra!” Bena menyenggol lengannya. “Jangan tidur lagi. Jadi ikut enggak?” Bena mengecek jam tangannya lalu mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan.
“Mau kemana sih, Ben?” tanya Gara tidak bersemangat.
“Ketemu Fiona, teman SMA-ku, anak jurusan arsitektur. Kamu lupa? Kan tadi pagi kamu bilang mau ikut.”
“Jurusan arsitektur?”