26 November 2019.
Waktu masih menunjukkan pukul 11 pagi ketika Gara dan Bena tiba di parkiran mobil jurusan arsitektur. Gara masih duduk di kursi penumpang sambil melipat tangan di depan dadanya. Sesekali ia memijat keningnya dengan resah. Kini ia justru merasa jika bertemu perempuan itu adalah keputusan yang salah. Gara tidak mau Ata semakin membencinya bahkan sebelum ia sempat memulai apa-apa. Sekarang segala kalimat dan topik pembicaraan yang ia siapkan untuk memulai percakapan dengan Ata langsung menguap dari otaknya.
“Woi! Ngapain sih, Ra? Kayak mau ngelamar anak orang aja,” Bena melepas sabuk pengaman sambil meninju lengan Gara.
“Hah? Udah sampai ya?” Gara melihat sekeliling untuk memastikan bahwa mereka benar-benar sudah berada di jurusan arsitektur. “Sial, cepat banget,” umpatnya pelan.
“Bro, gini. Biar clear aja sih,” Bena meremas setir sebelum mulai berbicara. “Kamu enggak ada maksud buat deketin Fi...”
“Enggak, Ben. Kamu kan yang mau deketin Fiona? Udah kelihatan. Tenang aja,” ujar Gara sambil menepuk pundak Bena lalu keluar mobil. Keduanya lalu berjalan menuju ke arah kantin.
Kemarin sore, Bena sudah menahan pertanyaan itu. Ia tahu jika Gara memang tidak ada niat untuk mendekati Fiona. Ia hanya ingin memastikan saja.
“Tapi kamu serius mau deketin si Ata?” tanya Bena tiba-tiba.
“Kenapa emangnya?” Gara melemparkan tatapan tajamnya.
“Wooow... Santai aja dong ngelihatinnya. Ya kelihatannya anaknya judes, dingin gitu. Enggak bisa ditebak.”
“Dia aslinya enggak gitu kok. Anaknya baik. Cuma kalau ketemu orang baru memang kelihatan judes.”
“Lah, sok tahu! Kayak udah kenal aja!” ejek Bena dan Gara hanya tertawa.
.....
Bena langsung melambaikan tangan begitu matanya berhasil menemukan Fiona di tengah keramaian kantin. Gara melirik sahabatnya yang sedang terlihat girang itu. Lalu matanya dengan cepat berusaha mencari keberadaan Ata. Tapi hasilnya nihil. Apa perempuan itu tidak ikut Fiona ke kantin?
“Kalian enggak pesan makanan?” tanya Fiona ramah, sama seperti biasanya.
“Tadi kita udah.....” kalimat Gara langsung dipotong oleh Bena.
“Iya, ini kita mau pesan makan kok,” Bena melirik Gara sambil tersenyum penuh arti.
Gara langsung mengerti maksud sahabatnya itu. Pasti Bena ingin memesan makanan supaya waktu mengobrolnya dengan Fiona jadi lebih lama. Tidak peduli meskipun sebelum datang ke sini tadi mereka baru saja selesai melahap sepiring nasi campur. Klasik. Setelahnya, Bena dan Fiona sibuk mengantri untuk memesan makanan sementara Gara memilih menunggu di meja.
“Sendirian aja, Fi?” tanya Bena sambil melahap semangkuk bakso yang ia pesan.
“Nanti Ata mau nyusul ke sini katanya. Masih ketemu dosen pembimbing kayaknya.”