27 November 2019.
Ata berjalan dengan santai sambil menenteng dua kotak nasi di tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi saat ia tiba di kampus. Kelasnya masih dimulai pukul 07.30. Namun ia sengaja datang lebih awal untuk bertemu seseorang. Senyum Ata mengembang ketika kedua matanya berhasil menemukan orang yang ia cari.
“Pagi, Bu Sumi,” sapa Ata. Kali ini suaranya terdengar ramah dan hangat. Ata bahkan tersenyum sambil memperlihatkan deretan giginya pada lawan bicaranya.
“Pagi, Mbak Ata,” jawab Bu Sumi. Perempuan berusia lebih dari enam puluh tahun itu meletakkan sapunya begitu menyadari kehadiran Ata.
“Sarapan dulu, Bu,” Ata mengangkat dua kotak nasi di tangannya. Keduanya lalu duduk di bangku yang terletak tidak jauh dari tempat Bu Sumi menyapu.
Ata beberapa kali tertawa kecil selagi bercerita dengan Bu Eti. Wajahnya benar-benar memancarkan kebahagiaan. Berbeda 180 derajat dengan Ata yang biasanya. Saat itu halaman jurusan arsitektur masih sangat sepi. Tidak ada mahasiswa yang datang ke kampus sepagi ini. Itulah sebabnya Ata bisa merasa sangat nyaman mengobrol dengan Bu Sumi. Ata merasa dirinya bisa bercerita apa saja pada Bu Sumi tanpa takut dihakimi. Bu Sumi yang sudah mengenal Ata sejak masih mahasiswa baru juga sering bercerita tentang cucunya yang sudah berusia empat tahun. Ata sesekali tertawa ketika mendengar cerita meluncur dari mulut Bu Sumi.
"Mbak Ata gimana kabarnya?" Bu Sumi menatap Ata sambil tersenyum. Ada kehangatan yang terpancar dari wajah wanita itu.
Ata terdiam sejenak. Ia tidak tahu apakah ia harus menceritakan hal sepele ini pada Bu Sumi. “Bu, kayaknya ada orang yang mau jahat ke Ata deh,” wajah Ata berubah lesu.
"Mbak Ata tahu dari mana kalau orang itu jahat?“ pertanyaan Bu Sumi membuat Ata bergeming. Ia tidak tahu jawabannya. "Kalau ternyata dia baik gimana, Mbak?” Bu Sumi tersenyum. “Mbak Ata itu orang baik. Pasti nanti akan ketemu sama orang baik juga.”
Kalimat Bu Sumi seperti angin segar yang menyejukkan. Ata selalu merasa lebih tenang setelah bercerita pada Bu Sumi walaupun ia tidak bisa menumpahkan semua hal yang sedang memenuhi kepalanya. Bagi Ata, Bu Sumi sering kali mampu menjelma menjadi sosok seorang ibu. Sosok yang telah pergi dari hidup Ata sejak lama. Sosok yang selalu Ata rindukan kehadirannya.
Ata lebih memilih untuk memendam perasaanya. Ia tahu dirinya tidak pandai mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan, khususnya semua hal yang menganggu pikirannya. Termasuk laki-laki itu. Laki-laki yang selalu mengucapkan kalimat-kalimat tidak terduga seakan-akan ia sudah mengenal Ata. Sudah dua hari laki-laki itu membuat Ata bertanya-tanya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan laki-laki itu. Namun Ata memilih untuk tidak ambil pusing. Baginya, tidak ada yang lebih penting dibanding kuliahnya saat ini.
“Itu temannya Mbak Ata?” tanya Bu Sumi sambil menunjuk seseorang yang berdiri di kejauhan. “Dari tadi kayaknya nunggu di sana.”
Ata menyipitkan matanya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengetahui siapa orang yang berdiri di sana. Laki-laki itu mengenakan kaus berwarna hitam dengan luaran kemeja abu-abu dan celana jeans. Laki-laki itu adalah Gara. Gara telah berdiri di sana sejak 15 menit yang lalu. Sejak tadi ia hanya memerhatikan Ata dari jauh. Pagi ini, akhirnya laki-laki itu bisa melihat Ata tersenyum dan tertawa tanpa dipaksakan.
“Sebentar ya, Bu,” Ata berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju tempat laki-laki itu.
“Pagi, Ta,” sapaan Gara yang terdengar kaku itu membuat kening Ata berkerut.
Ata menengok ke sekelilingnya, memeriksa kehadiran orang lain yang mungkin belum ia sadari. “Ngapain ke sini?”
Gara sudah menyangka jika dirinya tidak akan mendapat sambutan hangat dari Ata. Jangankan sambutan atau sapaan, Ata bahkan tidak memandang dirinya saat ia bertanya tadi. Perempuan itu justru menengok ke kanan dan ke kiri seperti mencari seseorang, atau memastikan jika tidak ada orang lain di dekat mereka. Ata lalu menoleh ke arah Gara, menunggu jawaban laki-laki itu.
“Oh iya, Bena nitip buku ini buat Fiona, katanya buat referensi tugas akhir dia,” ujar Gara sambil memberikan buku pada Ata.
“Oh, makasih,” entah kenapa Gara bisa mendengar kekecewaan dari jawaban Ata.
“Kamu kenal ibu itu, Ta?” keduanya lalu menoleh ke arah Bu Sumi yang sudah kembali menyapu.
“Iya. Namanya Bu Sumi.”
“Udah lama kenalnya?”