2 Desember 2019.
Ata baru saja merasa senang lantaran kelas paginya di hari senin ini baru saja selesai. Karena Fiona masih memiliki kelas siang dan sore, Ata berniat untuk sedikit melepas penat dengan jalan-jalan keliling Surabaya hari ini. Tapi antusiasme Ata langsung sirna ketika ia melihat seseorang berdiri di koridor kelasnya.
“Hai, Ta!” sapa Gara penuh semangat. Laki-laki itu melambaikan tangan ke arah Ata sambil memamerkan senyum lebarnya. Ata hanya memutar bola mata. Ia heran mengapa Gara sepertinya memiliki banyak waktu luang. Perempuan itu menatap Gara sebentar lalu menggelengkan kepalanya untuk menunjukkan keheranannya. Ia lalu berjalan melewati Gara begitu saja.
Gara yang sudah hafal dengan kelakuan Ata otomatis langsung berjalan beriringan dengan perempuan itu. “Kelas kamu udah selesai, Ta?”
Ata mengangguk.
“Terus kamu sekarang mau ke mana?”
“Belum tahu,” jawab Ata sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia terus berjalan sambil memantau aplikasi rute bus di ponselnya. Setelah beberapa langkah, Ata menyadari jika Gara masih berada di sampingnya. Laki-laki itu mengikutinya.
“Kamu ngapain di sini?” Ata menghentikan langkahnya lalu menghadap Gara.
“Hmm.. Belum tahu juga sih. Kalau aku mau ikut kamu, boleh?” Gara memasang tampang seperti anak kecil yang sedang minta dibelikan es krim. Ata tidak menjawab. Ia masih tidak habis pikir mengapa ada orang yang tidak pernah menyerah seperti Gara.
“Ya udah pokoknya aku ikut kamu ke mana aja nggak apa-apa. Ayo berangkat sekarang, nanti keburu siang, Surabaya tambah panas,” ucap Gara yang kini justru berjalan mendahului Ata.
“Emang mau ke mana?”
“Keliling Surabaya!” jawab Gara bersemangat.
Mereka lalu berjalan menuju halte bus terdekat. Gara terus bercerita tentang hal-hal sepele, seperti tentang populasi kucing di kampus mereka, lalu berlanjut tentang warna dinding tiap jurusan yang berbeda-beda, samai mobil baru pak rektor. Ata sebenarnya ingin tertawa. Tapi ia memilih diam dan menahan diri untuk menanyakan dari mana asal ‘ilmu pengetahuan’ yang Gara miliki itu.
“Eh, kamu tahu kalau pak rektor baru cukur kumisnya, Ta? Kelihatan aneh banget! Tadi pagi aku enggak sengaja lihat di dekat rektorat.”
Ata berusaha menyembunyikan tawanya. “Kamu ngapain sih ngelihatin kumis pak rektor?”
“Hehe lagi pengen aja,” Gara ikut tertawa.
Setelah sampai di halte bus, keduanya kembali diam. Gara sepertinya lelah setelah memutar otak guna mencari topik pembicaraan. Sementara Ata memang sudah terbiasa nyaman dalam keheningan.
“Kita jadinya mau ke mana ya, Ta?”
“Katanya mau ikut ke mana aja.”
“Oh, jadi kamu ngajak aku jalan kemana aja. Oke aku mau hehe,” Gara tersenyum puas.
“Nggak gitu!” Ata menatap tajam Gara yang masih tersenyum penuh arti.
“Gitu juga nggak apa-apa kok, Ta.”
“Emang kamu punya tiket buat naik bus nanti? Nggak bisa pakai uang lho.”
Gara mengeluarkan dompetnya, lalu menarik sebuah kartu dan menunjukkannya pada Ata. “Bayar busnya pakai sampah plastik. Iya kan? Ini aku udah ada kartunya,” ujar Gara sambil melambai-lambaikan kartu itu di depan wajah Ata.
“Iya iya,” Ata menghela napas kesal. Gagal sudah rencananya untuk berpetualang sendirian hari ini.
“Eh itu busnya datang, Ta!” seru Gara.
Kondisi bus pagi itu cukup ramai. Hanya ada beberapa kursi kosong yang tersisa. Ata memutuskan untuk duduk di kursi di dekat seorang ibu yang menggendong anaknya. Sementara Gara memilih untuk berdiri di samping Ata.
"Di belakang ada kursi kosong,” ucap Ata dengan nada datarnya.
“Aku di sini aja. Kalau di belakang nanti nggak bisa ngobrol sama kamu.”
Ibu yang duduk di samping Ata tersenyum mendengar perkataan Gara. Ata yang malu langsung mengalihkan pandangannya. Di sepanjang perjalanan di dalam bus, Gara tidak melepaskan pandangannya pada Ata. Dan Ata sebenarnya menyadari hal itu. Ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Ata hanya menatap ke luar jendela sambil berusaha menenangkan perasaan asing di muncul dalam dirinya.
...