1. DI GEDUNG RESTO
Telapak tangan kasar penuh bekas luka bakar itu kembali melipat pergelangan baju putihnya. Tak lama gulungan itu kembali ia ulur. Lalu melipatnya lagi dan mengulurkannya kembali. Menyisakan kerutan tak enak dipandang. Seperti bekas-bekas lipatan di hatinya yang kini coba ia kikis habis.
Elaksi mendaratkan tubuhnya ke kursi tampa sandaran. Yang memang disediakan untuknya di belakang meja masak. Ia tegakkan tulang punggung sembari menarik napas panjang. Lalu seketika kembali lunglai seperti kehilangan tulang belakang. Benih-benih keringat tak henti tumbuh meski di luar turun hujan.
“Huff!” gumamnya membuat waktu cepat berjalan.
Gadis itu mengalihkan perhatian pada tamu-tamu yang berdatangan. Sebagian memilih meja di tengah ruangan. Yang lain memilih balkon yang hanya berbatas pagar bambu dengan jurang terjal ngarai Sianok. Beberapa tamu memilih duduk di meja bar lantas memesan minuman yang mereka minati sambil menikmati alunan musik mengalun lembut.
Sesuai kesepakatan, Elaksi tak boleh melakukan apapun sebelum diberi aba-aba. Ia hanya akan jadi penonton tingkah-polah tamu restoran. Tak ubahnya seperti sepotong es krim yang didiamkan dalam panci panas. Hanya menunggu waktu saja sebelum dirinya lenyap.
“Ayolah, Elaksi!” ujarnya lirih menghentakkan kaki ke lantai keramik putih.
Hentakkan itu membuat batang punggungnya tegak sesaat. Namun begitu mata bulatnya bersirobok dengan perempuan cantik itu, Elaksi kembali terpuruk ke dalam ruang sempit yang gelap. Rongga dadanya sesak. Ia hentakkan kakinya keras ke lantai putih. Mencoba melenyapkan diri sebelum terlampau jauh, tapi gagal.
Elaksi terpenjara. Hanya matanya yang kini bebas berkeliaran. Ke luar balkon, jauh ke dasar jurang Sianok di luar sana. Mata kecoklatan itu mengikuti liukan sungai di dasar ngarai. Lantas menjalar ke sawah hijau dan tanaman di dasar lembah. Mata berkantung gelap itu ingin menetap saja di sana. Namun entah sebab apa mata itu beralih memanjat ke dinding tebing rengkah, saksi pergerakan lempeng di kedalaman bumi sana. Lantas kemudian tertumbuk pada dinding kokoh gunung Marapi yang terlihat samar di balik kabut hujan. Lukisan alam yang begitu sempurna, bisik hatinya terhibur. Lukisan yang juga jadi magnet tamu restorannya selama ini.
Rengekkan dan tawa riuh anak-anak merenggut Elaksi kembali dari lamunan. Matanya melihat seorang anak laki-laki berambut keriting sebahu. Ia memandang hujan dari dinding kaca. Ia tempelkan badannya ke dinding kaca itu. Lantas membuka mulut dan meniupkan uap ke permukaan kaca. Titik-titik embun meluas. Anak itu mulai melukis lingkaran dengan jemari kecilnya. Lalu memberi lingkaran kecil di dalamnya menyerupai mata. Namun belum sempurna gambar wajah itu terlukis, titik-titik air di kaca melebur ke bentuk semula, lukisannya lenyap. Anak kecil itu kesal, lantas berlari dengan wajah cemberut ke meja ibunya. Hey, itu kan aku? Bisik batin Elaksi tertawa.
Elaksi tersenyum gemas. Ia teringat perangai kecilnya dulu. Menguapi piring makan yang akan dipakai tamu restoran dengan mulutnya. Elaksi ketahuan, dan diomeli kakeknya. Kebersihan itu hal nomor satu yang harus dijaga jika kau berbisnis makanan, ujar sang kakek mewanti-wanti. Ah, hujan selalu saja menjelma anak-anak kunci yang membuka laci-laci kenangan di benak manusia.
Bola mata Elaksi beranjak. Di sudut lain restoran, anak perempuan baru pandai berjalan menepuk-nepuk dinding kaca. Ia hendak menjangkau hujan. Namun sayang dinding kaca tebal itu mengisolasinya. Sang bocah tak menyerah. Kaki-kaki mungil itu bergerak mencari jalan lain, pintu lain. Namun sebelum rintik hujan berhasil ia raih, tangan ibunya sudah lebih dulu meraih tubuhnya dan membawanya kembali ke meja makan. Si bocah marah, meronta-ronta dengan tangan masih terjulur di pangkuan ibunya. Elaksi menyungging senyum. Itu juga aku, serang batinnya tertawa.
Di balik meja masak, Elaksi tiba-tiba teringat sesuatu. Ia merogoh saku tergesa-gesa.
“Ayolah kentang rebus, balas pesanku!” gumamnya, melihat tak satupun ada notifikasi di layar ponselnya.
Siang itu Awan Bamego Resto berbeda dari biasanya. Meja masak untuk Elaksi sengaja dipindahkan ke tengah ruangan. Ada kamera yang akan menghantarkan pertunjukkan di balik meja kepada mata semua pengunjung resto. Para tamu akan diberi tontonan kebolehan sang koki mengolah bahan. Entahlah, apa ini akan jadi yang pertama baginya, ataukah akan jadi yang terakhir, gadis berkulit sawo matang itu berkali-kali menghembuskan napas panjang.
“Kau lihat muka lapar mereka?” bisik Kumala yang tiba-tiba sudah berada di seberang meja Elaksi.
Derap tumit hi-hill merahnya yang berirama teratur itu terasa bagai dentuman meriam di telinga Elaksi. Sekali Kumala melambaikan tangan, para asisten dapur langsung berkumpul. Mereka menyatakan siap untuk menduplikat hidangan yang akan dieksekusi Elaksi. Wajah mereka tegang. Nasib mereka juga ditentukan oleh hasil duplikasi masakan nantinya. Ini sesuatu di luar kebiasaan. Dan sama seperti Elaksi, mereka juga menebak-nebak bahan apa yang akan mereka eksekusi. Ada begitu banyak bahan dalam peti yang masih dirahasiakan isinya.
“Ya. Aku tahu,” sahut gadis bersuara serak itu menggulung lengan baju putihnya.
Gadis berambut kuncir itu menarik nafas dalam. Ia alihkan pandangan pada meja-meja jamuan. Senyum tipis ia lemparkan ke seluruh penjuru ruang. Merasa kikuk dipandangi banyak orang, Elaksi berpura mengeratkan scraf merah marun di kepalanya. Scraf yang selalu ia jadikan bandana itu sama seperti sepatu boot hitamnya yang bertambal sol karet, selalu menempeli Elaksi kemana pergi. Seperti halnya Elaksi yang tak ingin diceraikan dari kenangan.
“Mereka bukan pengunjung sembarangan, lho, Si. Jadi jangan asal-asalan!” ultimatum Kumala menaruh telunjuk, sepuluh centimeter dari wajahnya.
“Maksudmu apa?” balas Elaksi coba menangkis tekanan yang dialamatkan padanya.
“Di meja kelas satu sana ada pejabat, kepala daerah sini. Ada wartawan, food-blogger, dan pekerja media. Ada ketua perhimpunan restoran se-Indonesia. Supliyer bahan baku resto ini. Rekan-rekan bisnis Kakek. Serta pelanggan setia Awan Bamego sejak puluhan tahun silam,” bisik Kumala, melipat jari-jari lentiknya usai menghitung, “Dan…,” sambungnya menggantung.
Senyum tipis di wajah putih Kumala makin mengembang seperti adonan roti dalam oven pemanggang. Mata bulat berbulu lentik itu berbinar penuh. Ia membalikkan badan pelan, menyapa pengunjung, lantas kembali menghadapkan badan pada Elaksi. Gerakan pelan nan anggun itu sejenak membius semua mata menatap kagum pada Kumala. Sesuatu yang tak ada dan pernah bisa dilakukan Elaksi.
“Elaksi?” sapa Kumala, terdengar akrab.
“Ya?” Elaksi mengangkat alis. Sikap siaganya kembali ia tunjukkan. Elaksi merapatkan kedua tumitnya, dan berdiri dalam posisi siap menerima perintah.
“Ada Pendar dan Ibunya di balkon sana,” sambung Kumala lembut, mengangkat jemari bercat merah setinggi dagunya yang lalu menyisakan satu telunjuk ke arah balkon yang kini terselimuti kabut tipis.
Mata Elaksi mengikuti arah telunjuk itu. Dan, bak seorang mentalis menjentikkan jari sebagai anchor pemantik alam bawah sadar, perut Elaksi seketika bergejolak mendengar nama itu disebut. Jantungnya berdebar karuan tampa diperintah. Elaksi menelan ludah, berusaha keras membujuk dirinya untuk tenang. Disaat yang sama, kelenjer keringat bersekongkol menyemburkan keringat dingin di sekucur kulit tubuhnya. Bulir-bulir cair itu meleleh dari keningnya, menuruni hidungnya, hingga berakhir di dagu lacipnya. Elaksi terlambat mencegah bulir itu jatuh ke lantai. Selembar tisu dalam genggamannya hancur lumat. Belum apa-apa dibandingkan hancurnya sekerat hatinya.
Di beranda luar, lelaki berkaos abu-abu menatap Elaksi lekat. Matanya berbicara pada Elaksi, tapi sayangnya tak sebaris pun sanggup diterjemahkan oleh gadis itu. Elaksi membuang pandang. Ia kembali berkutat dengan keraguan yang menggunung dalam dirinya. Kakinya kaku seakan tertanam. Tubuhnya lemas seolah tak bertulang. Ingin sekali ia melorot ke pinggang bumi lantas lenyap. Namun sayang itu tak pernah terjadi.
“Kupastikan, kau akan mengingat kejadian hari ini seumur hidupmu, Elaksi sayang!” ancam Kumala, memasangkan biji kancing hijau lumut di leher Elaksi, berdiri membelakangi kamera.
“Kau mengancamku?” sahut Elaksi terbata, setelah susah payah melepaskan bongkahan udara padat dari paru-parunya.
“Ohh sayang, jangan pasang wajah jelekmu itu. Ingat, semua mata sedang tertuju padamu. Tersenyumlah!” bisik Kumala menyeka keringat di dahi Elaksi lalu menjauh.
“Mala?!” panggil Elaksi terhenti.
Kumala kembali mendekat dengan bibir tak lepas dari senyuman. Di bawah sinar lampu hias di langit ruangan, gadis berperawakan tinggi itu memain-mainkan permata yang menggantung di rantai kalungnya.
“Kenapa, Elaksi? Kamu gak bisa masak, ya?” balas Kumala mendongakkan wajah ke hadapan Elaksi, mencoba tampak jenaka.
“Mala, sebenarnya aku...,” ujar Elaksi terpotong.
“Kau menyembunyikan sesuatu? Atau kau takut, dan ingin mundur saja?” potong Kumala menolak mendengar penjelasan sepupunya itu.
Mulut Elaksi terkunci meski luapan kata-kata di balik bibirnya meledak-ledak hendak dimuntahkan. Ia telan kembali semua kata lalu membiarkan mereka berenang-renang dalam perutnya.
“Terlambat, Elaksi!” timpal Kumala, dingin.