TEH REMPAH DI PAGI HARI
Pagi di akhir pekan, seperti biasanya Elaksi dipanggil-panggil untuk ikut oleh sang kakek. Sampai di rumah makan, Elaksi biasanya akan disuruh beres-beres merapikan kursi atau sekedar mengelap debu di jendela. Belum ada pengunjung yang datang sepagi itu. Jika pun ada, tak ada menu yang cocok disuguhi untuk pagi hari. Lagi pula, tukang masak dan pegawai rumah makan masih belanja bahan masakan di pasar Kotobaru, di kaki gunung Marapi sana. Jadi, jika pun ada tamu yang datang, kakek akan memintanya menunggu atau pergi saja ke warung lain. Elaksi merasa bosan dengan suasana sepi seperti itu.
“Sisi, seumur kau ini, Nenekmu sudah mahir masak rendang. Kau masak nasi saja, hangus,” oceh Rasyid pada cucu remajanya itu.
Tak ada tanggapan dari bilik sebelah ujung kiri Rumah Gadang. Suasana hening.
“Tak malu kau pada matahari yang sudah meninggi, Sisi? Bangunlah!” omel sang kakek menggedor-gedor daun pintu.
Tak juga terdengar jawaban dari kamar berdinding papan itu. Rumah Gadang itu masih senyap. Hanya suara cicitan burung di atap rumah yang mengisi udara pagi. Atau suara ibu-ibu tetangga yang mengomel entah karena perangai anak mereka ataukah karena kurang uang belanja.