Aroma Melati di Malam yang Sepi

Desto Prastowo
Chapter #1

Bab 1 Lautan yang Tenang

“Cinta yang tenang bukan berarti tak pernah diuji. Kadang badai datang bukan untuk menghancurkan, tapi untuk mengingatkan: bahwa akar harus menyusup lebih dalam.”

Bagas Wicaksana selalu bangun sebelum matahari terbit. Tepat pukul lima, tubuh tegapnya beranjak dari ranjang tanpa suara. Ia menyibakkan selimut lalu duduk sebentar di bibir bed-nya. Otot-ototnya yang terlatih dari kebiasaan lari pagi dan angkat beban tampak jelas ketika ia mengganti kaus tidur dengan kaus olahraga tipis berwarna abu. Kulitnya sawo matang, warnanya merata, hasil pertemuan matahari dengan disiplin, bukan sekadar liburan ke pantai.

Ia berlari mengitari kompleks perumahan, napasnya teratur, langkahnya mantap. Setiap sudut jalan ia hafal; pohon angsana di tikungan, warung roti yang baru buka, dan satpam yang selalu memberi hormat dengan malas. Bagas mengangguk sopan, tak lebih, tak kurang. Begitulah ia dalam banyak hal: stabil, terukur, dan tidak berlebihan. Namun tak jarang ada mata-mata yang memperhatikannya sebab wajahnya memang sedap dipandang dan karena tubuhnya yang proporsional.

Pukul enam tepat, ia pulang. Anggun, istrinya, biasanya sudah di dapur, menyiapkan sarapan sederhana—telur dadar, nasi hangat, dan sayur bening. Mereka jarang bertukar kata di pagi hari, tapi keheningan itu bukan jarak, bukan pula kebuntuan komunikasi melainkan kebiasaan yang nyaman. Sesekali Anggun bertanya, “Ada rapat besar hari ini?” dan Bagas menjawab singkat, “Ada. Tapi tak penting. Business as usual.

Putra kecil mereka, Arya, berusia lima tahun, sering baru bangun ketika Bagas selesai mandi. Selepas Bagas mandi giliran Arya yang mandi. Sementara istrinya sudah sejak tadi tubuhnya wangi. Bagas akan mengeringkan rambut anak itu dengan handuk, mengikat tali sepatunya, dan memastikan buku-buku sekolahnya rapi di tas. Ia bukan ayah yang pandai bercanda, tapi tangannya selalu sigap ketika Arya butuh bantuan. “Gendong Yah,” Arya suka bermanja pada Bagas. Anak itu tahu bahwa ayahnya selalu dapat diandalkan. Jarang sekali permintaannya ditolak, setiap permintaan meski kadang harus merajuk, pada akhirnya ayahnya akan mengangguk mengiyakan permintaannya.

Secara fisik, Bagas tak terlalu mencolok di keramaian, tapi ada sesuatu yang membuat orang menoleh dua kali: postur tegapnya, rahang kokoh dengan sedikit janggut tipis yang selalu terpangkas rapi, dan sorot mata tenang yang jarang berubah, entah ia marah, gembira, atau cemas. Hidungnya mancung selaras dengan bentuk oval wajahnya. Ia adalah karang yang kokoh meski dihantam ombak jutaan kali.

Malam hari, setelah makan malam dan Arya terlelap, ia dan Anggun sering duduk di teras belakang. Tidak ada pelukan mesra atau kata-kata puitis, hanya obrolan ringan tentang tanaman yang tumbuh di pot, atau suara hujan yang mulai deras. Kehidupan mereka tidak bergejolak, tidak penuh drama, tapi hangat—hangat seperti bara yang tak terlihat namun tetap menyala setelah sepuluh tahun bersama. Nyala itu selalu berhasil mereka jaga meski riak-riak kecil pasti selalu muncul sebagaimana pada hubungan apapun.

Lelaki yang Tumbuh dalam Sunyi

Bagas lahir pada suatu malam bulan Juni yang sunyi. Ibunya berjuang dengan ketenangan saat melahirkannya dibantu bidan desa yang datang ke rumahnya. Ibu Kunti sudah berpengalaman dalam melahirkan sebab Bagas adalah anaknya yang kelima. Tak ada ketegangan atau kepanikan tampak di awajahnya sebab ia sudah terlalu sering menghadapinya

Rumah itu sederhana saja namun sebagaimana gaya Sebagian besar rumah di wilayah itu, halamannya luas yang biasa digunakan untuk bermain oleh anak-anak kecil : jelungan, gobak sodor dan permainan tradisional lainnya. Halaman rumah itu ditata rapi: pohon belimbing yang jarang berbuah di sudut kiri, pot bunga bougenvil yang teratur berjajar, dan tanah yang setiap pagi basah oleh siraman air sumur. Suara jangkrik beradu ritme dengan desah angin yang melintasi pepohonan jati di kejauhan, menjadi latar tetap kehidupan keluarga kecil itu. Rumah tersebut bukan hanya sekadar tempat tinggal, ia adalah cermin dari nilai-nilai yang menopangnya: keteraturan, kendali, dan ketenangan yang nyaris beku.

Ibunya adalah seorang perempuan bersanggul rapi, hidup dalam disiplin ketelitian yang hampir obsesif. Setiap pagi, sapunya bergerak di halaman dengan ritme yang konsisten, seperti ritual yang diwariskan turun-temurun. “Jangan biarkan ada satu sampah daun yang tertinggal, suaminya nanti brewokan,” begitu selalu pesan nenek kepada ibunya berulang-ulang. Itu sebabnya tidak ada ruang bagi daun gugur untuk berlama-lama di lantai teras. Setiap perabot memiliki “rumahnya sendiri,” tak boleh bergeser meski hanya satu sentimeter. Ia bukan sosok yang banyak bicara, tapi kasih sayang hadir lewat cara lain: sepiring tempe goreng hangat sebelum berangkat sekolah ditemani teh yang ginastel : legi panas dan kenthel yang artinya berasa manis, panas dan kental, teh jeruk nipis ketika Bagas demam yang selalu mampu membawa kesegaran, atau tatapan yang mengawasi diam-diam dari ambang pintu. Dari ibunya, Bagas belajar bahwa cinta tak selalu hadir dalam pelukan atau kata manis, melainkan dalam rutinitas yang dijalankan tanpa keluhan. Perhatian ibunya benar-benar tercurah kepada anak-anaknya.

Ayahnya, seorang pegawai negeri di kantor kecamatan, adalah figur yang keras sekaligus dingin. Setiap hari ia bangun sebelum fajar, berangkat kerja dengan sepeda motor tua yang knalpotnya berisik, lalu pulang dengan diam panjang yang sulit ditembus. Dalam budaya patriarki yang kuat pada masa itu, laki-laki dipandang sebagai pilar keluarga, pencari nafkah, pengambil keputusan, sekaligus simbol keteguhan. Lelaki yang mengambil peran urusan rumah tangga adalah aib bagi kaumnya. Ayah Bagas menjalani peran itu dengan konsistensi nyaris kaku. Ia tidak pernah bermain dengan Bagas, tidak pernah meninabobokan dengan cerita, tapi ia memastikan sepatu anaknya selalu bersih, uang jajan terselip rapi di buku tulis, dan pagar rumah terkunci sebelum malam tiba. Ia menjaga keselamatan keluarga dengan konsentrasi yang tak pernah terpecah.

Dari rumah semacam itu, Bagas tumbuh dalam sunyi. Ia belajar sejak kecil bahwa menjadi laki-laki berarti mandiri, tidak merepotkan, tidak banyak bicara, berani menghadapi masalahnya sendiri. Kamar tidurnya adalah cerminan dirinya: steril, bebas dari jejak emosi. Tidak ada poster, tidak ada mainan berserakan, hanya rak buku pelajaran yang tersusun lurus, pensil yang diraut sempurna, dan lampu meja yang selalu dimatikan pukul sembilan malam, seakan jam biologisnya diatur oleh ketukan jarum jam dinding. Keteraturan adalah nafas hidupnya. Ia tak pernah benar-benar membuat masalah.

Di sekolah, Bagas menempati ruang di antara dua kutub: bukan murid yang menonjol, tapi juga bukan yang bermasalah. Ia cukup cerdas, tenang, pendiam. Guru-guru menyukainya karena ia tak pernah menimbulkan keributan, selalu mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan.

Ia juga selalu suka saat pelajaran olahraga, terutama sepakbola. Olahraga adalah ketertarikannya yang utama selain soal angka. Selebihnya, teman-temannya menganggapnya terlalu “jauh,” terlalu sulit dijangkau. Saat yang lain ribut membicarakan gadis-gadis cantik di sekolah atau bercanda di kantin, Bagas lebih senang menyendiri, tenggelam dalam buku. Sejak SMP, ia sudah menyukai bacaan tentang bangunan, jalan, dan jembatan. Baginya, ada ketenteraman dalam memikirkan sesuatu yang bisa dibangun dari dasar, dihitung dengan presisi, dan berdiri kokoh tanpa tergantung suasana hati manusia. Teman-temannya terkadang menggodanya untuk ikut menikmati menghisap rokok, sebatang rame-rame. Tapi Bagas tak pernah tertarik.

Di sekolah, Bagas bukan anak yang menonjol, tapi juga bukan yang bermasalah. Ia cerdas, pendiam, dan selalu menyelesaikan tugas dengan presisi seakan hidupnya hanya punya satu arah: maju lurus tanpa riak. Ia memilih jurusan IPA di SMA karena kegemarannya pada matematika, logika yang rapi, kepastian yang tak pernah mengkhianati, angka-angka yang menawarkan kenyamanan. Dalam dunia angka, ia merasa aman, seperti berjalan di atas lantai yang kokoh tanpa celah. Ia percaya angka tidak pernah mengkhianatinya.

Namun, sebuah peristiwa kecil mengguncang keseimbangannya. Ia jatuh hati pada seorang teman sekelas yang gemar membaca sastra, seorang gadis yang bicara tentang puisi seakan kata-kata bisa menyalakan api. Gadis itu, Ratna Namanya, mungkin tidak pernah tahu bahwa ada seseorang yang selalu mengamatinya. Gadis itu periang dan mampu menyalakan kebahagian bagi orang di sekelilingnya. Bagas tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya, hanya mengamati dari jauh: caranya menunduk saat tertawa, cara jemarinya membalik halaman buku, atau cara suaranya memecah keheningan kelas dengan kalimat-kalimat yang penuh makna. Dari rasa yang tak terucap itu, sebuah pintu terbuka. Ia mulai membaca buku-buku di luar pelajaran sekolah—tentang manusia, tentang pikiran, tentang perasaan—seolah ingin mendekat kepadanya lewat bahasa yang sama.

Lihat selengkapnya