Aroma Melati di Malam yang Sepi

Desto Prastowo
Chapter #2

Bab 2 Cahaya yang Tumbuh dalam Senyap

Nindi Paramita lahir pada suatu pagi di Bulan April, di sebuah rumah kecil di pinggiran kota yang tidak pernah muncul di brosur pariwisata. Ayahnya, seorang pegawai swasta yang penuh dedikasi, meninggal karena kecelakaan kerja ketika Nindi baru berusia tiga tahun. Ia terlalu muda untuk mengingat suara tawa sang ayah, ciuman hangat di keningnya, atau usapan sayang di rambutnya, tapi cukup tua untuk merasakan kehilangan yang membekas di setiap lembaran kisah hidupnya. Sejak itu, ibunya, Bu Titis, menjadi jangkar satu-satunya. Untungnya, Bu Titis seorang yang tangguh, membesarkannya dengan rasa sayang yang penuh, seolah hendak menutup celah kosong yang ditinggalkan sang ayah.

Sejak dini, Nindi menunjukkan kepekaan yang jarang dimiliki anak-anak seusianya. Ia tahu kapan ibunya lelah, kapan rumah terasa kosong, kapan pelukan bisa menjadi jawaban yang lebih baik dari kata-kata. Ia terbiasa merawat hal-hal kecil: menyusun sandal tamu, menyiram tanaman, mematikan lampu saat pagi mulai menyapa. Kebiasaan sederhana itu kelak menjadi aura yang melekat pada dirinya, bukan karena ia ingin dilihat, melainkan karena ia tidak bisa tidak peduli. Itulah pancaran utama dari dirinya, sebuah cahaya yang tidak pernah ia sadari, namun selalu dirasakan orang lain.

Ibunya membesarkannya dengan cerita-cerita yang berbeda dari dongeng kebanyakan: tentang burung yang melawan badai, pohon tua yang tetap tegak meski akarnya tergerus waktu, tentang raja hutan yang peduli terhadap rakyatnya. Dari sana, Nindi belajar bahwa kelembutan bisa berjalan beriring dengan keteguhan. Cerita-cerita yang dibalut kasih sayang ibunya yang seluas semesta adalah vitamin bagi Nindi untuk tumbuh. Ia belajar bahwa menjadi kuat bukan berarti menutup hati dari luka, melainkan mampu tetap lembut meski hidup berkali-kali mengetuk dengan keras. Luka yang tidak membuatmu mati, hanya akan membuatmu lebih kuat, begitu kalimat yang selalu Nindi ingat selepas membaca sebuah buku di perpustakaan.

Masa Remaja : Luka yang Disulam Menjadi Cahaya

Saat remaja, Nindi mulai merasakan perbedaan ritme dirinya dengan teman-temannya. Dunia menuntut untuk cepat, lantang, menonjol, sementara ia lebih suka berjalan pelan, diam, dan menyimak. Ia aktif di klub sastra SMA, namun jarang berdiri paling depan. Justru tulisannyalah yang membuat guru-gurunya terdiam. Ia memimpin kelompok sastra di sekolahnya, bukan dengan suara keras, melainkan dengan konsistensi dan ketulusan. Terkadang ia menulis puisi, cerpen, dan beberapa kali karyanya menjuarai lomba sastra tingkat pelajar di daerahnya.

Namun, ada luka lain yang menyertainya. Saat kelas XI, warung kecil ibunya nyaris bangkrut karena ditipu pemasok. Sebagian perabot rumah terpaksa dijual karena peristiwa itu. Itupun belum cukup untuk menutupi kerugiannya. Nindi melihat sendiri bagaimana ibunya berutang sana-sini demi bertahan. Dalam perjalanan waktu, semua hutang itu mampu dilunasinya. Ibu selalu mengajarkan kepadanya untuk tidak bergantung kepada orang lain. Pelajaran itu tertanam dalam-dalam, seakan menjadi kompas batinnya.

Di situlah ia mulai bekerja paruh waktu sebagai guru les membaca untuk anak SD, meski usianya baru 16. Dari pengalaman itu, ia belajar dua hal: bahwa hidup bisa sangat keras, dan bahwa kelembutan tidak berarti menyerah. Lembut tak selalu berarti lemah. Justru dari titik rawan itu, ia menemukan kekuatan baru: ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri, meski angin kehidupan terus berusaha menggoyangnya. Luka itu ia sulam menjadi cahaya, dan cahaya itu semakin lama semakin terang, meski tak pernah menyilaukan.

Lihat selengkapnya