Taman Kota, Sore Itu
Taman kota selalu menjadi ruang pertemuan yang tak dirancang untuk hal-hal istimewa, namun justru menyimpan banyak cerita yang tak terucap. Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, angin berembus pelan membawa aroma rumput basah dan suara anak-anak yang berlarian di antara jalur sepeda dan bangku-bangku tua, ada garis warna kuning di tengah trotoar yang menggamit jalan utama. Langit menggantung rendah, berwarna jingga keemasan, seolah menahan waktu agar tak lekas berlalu sehingga bagian sebagian orang terasa lebih syahdu.
Di bawah pohon trembesi yang rimbunnya menyerupai payung raksasa, Bagas duduk diam di bangku kayu yang mulai lapuk. Ia mengenakan kaus polos dan celana casual, wajahnya tenang namun menyimpan gurat lelah yang tak bisa disembunyikan. Ia bukan pria yang mencolok, tapi banyak yang diam-diam mengaguminya: pekerja keras, ayah yang bertanggung jawab, suami yang sabar. Namun di balik semua itu, ia hanyalah lelaki biasa yang sesekali ingin menjadi tak terlihat.
Setiap akhir pekan, ia datang ke taman ini. Istrinya mengikuti kelas Zumba di aula terbuka, anaknya bermain bersama neneknya di sudut taman yang dipenuhi ayunan. Bagas tidak mencari hiburan, tidak pula pelarian. Ia hanya ingin mencuri sedikit waktu untuk dirinya sendiri—sebuah jeda yang sunyi di antara ritme hidup yang terus berderap. Waktu terkadang tidak kita hargai. Padahal, waktu bukan sekadar durasi, ia adalah hak hidup. Kita sering membicarakan anggaran, subsidi, infrastruktur, dan pelayanan, tetapi jarang menyadari bahwa waktu warga adalah aset kolektif yang terus terkikis. Setiap menit yang hilang dalam antrean, kemacetan, atau birokrasi yang lamban adalah bentuk pemborosan tak kasat mata, namun dampaknya sangat nyata.
Kita akrab dengan istilah “uang rakyat” atau “tanah rakyat,” tetapi hampir tak pernah menyebut “waktu rakyat.” Padahal, warga membayar pajak bukan hanya untuk jalan, jembatan atau gedung, melainkan juga untuk layanan yang cepat, transparan, dan efisien. Waktu adalah modal kehidupan: memungkinkan seseorang bekerja, belajar, beristirahat, bertumbuh dan merawat keluarga. Ketika waktu kolektif diabaikan, kesejahteraan sosial ikut terkikis.
Bisikan dari Kejauhan
Lalu suara itu datang. Bukan suara yang memanggil, bukan pula yang mengganggu. Justru sebaliknya—suara yang pelan, jernih, dan penuh jeda. Seolah kata-kata itu tidak keluar dari mulut, melainkan dari ruang hening yang jarang disentuh manusia. Suara itu menembus riuh taman, melampaui tawa anak-anak dan deru sepeda, dan sampai ke telinga Bagas tanpa distorsi.
Ia menoleh.
Di bawah tenda kecil bertuliskan Komunitas Literasi Anak, berdirilah seorang perempuan muda. Rambutnya diikat sederhana, matanya menyala lembut, dan di tangannya tergenggam selembar kertas puisi. Ia membacakan bait-bait untuk anak-anak yang duduk melingkar di atas tikar warna-warni. Tidak ada panggung, tidak ada pengeras suara. Hanya suara yang tulus dan ekspresi yang tidak dibuat-buat.
Ia tidak berusaha menjadi guru, tidak pula tokoh inspiratif. Ia hanya menjadi dirinya sendiri—Nindi, perempuan muda yang mencintai kata-kata dan percaya bahwa anak-anak layak disentuh oleh keindahan. Ia berbicara dengan bahasa yang sederhana, namun sarat makna. Ia tidak menggurui, hanya menemani. Dan dalam cara ia membaca, Bagas menangkap sesuatu yang jarang ia temui: ketulusan yang tidak berusaha tampil.
“Langit pagi bukan hanya biru,