Tuhan ternyata masih belum mau mendengar doaku. Hari yang ingin kulewati akhirnya tiba. Acara peresmian pabrik baru Tante Widya diadakan di hari Minggu. Tentu saja itu artinya aku tidak memiliki alasan untuk menolak ajakan Ibu untuk ikut serta.
Setelah memilih baju yang rapih seadanya, aku bergegas menyusul Ibu yang sudah duduk manis di samping kursi mobil Ayah.
"Senyum dong sayang. Nanti cantiknya hilang loh." Ayah menggodaku yang sedang duduk di belakang sambil melipat mukaku.
"Nanti di sana aku sama siapa? Aku di mobil aja ya."
"Gigi, kan kamu kenal sama Tante Widya dan Om Chandra. Kamu itu diundang khusus oleh mereka loh. Katanya kangen lihat mukamu yang mungil itu."
Aku menghela napas kesal. Bukannya aku tak ingin bertemu dengan Om Chandra dan Tante Widya yang sudah aku kenal dari kecil. Tapi, aku tidak suka harus datang ke acara formal seperti itu. Apalagi isinya tentu saja hanya rekan-rekan bisnis dan teman-teman Om dan Tante. Dan tentu saja itu artinya aku tidak akan memiliki teman mengobrol yang seusiaku.
Tidak berapa lama kemudian mobil Ayah berhenti di sebuah hotel mewah. Kami bertiga kemudian menaiki lift menuju rooftop di mana acara akan berlangsung. Aku merutuki diriku sendiri ketika aku melihat tamu undangan yang lain berpakaian begitu mewah.
"Ibu, kok gak bilang sih acaranya mewah gini?" Aku berbisik.
"Ibu kan sudah bilang. Pakai gaun hitam mu. Tapi kamu menolaknya. Katanya takut terlalu salah kostum."
"Aku pikir acaranya diselenggarakan di dalam pabrik, Bu."
Ibu hanya tertawa mendengar jawabanku, kemudian kembali fokus menikmati acara. Acara makan pun tak lama kemudian berlangsung. Aku terus mengekor ke mana pun Ayah dan Ibuku pergi.
"Bu, sudah malam nih. Ayo pulang." Sejujurnya aku sudah lelah berjabat tangan dan memamerkan senyum pepsodentku kepada teman-teman Ayah Ibuku. Tapi aku tak sepenuhnya berbohong. Memang jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
"Iya, sebentar. Kita temui yang punya acara dahulu ya." Aku hanya mengangguk pasrah. Aku hanya berharap setelah ini kami akan segera pulang.
Aku mengekor di belakang Ayah dan Ibu yang berjalan melewati beberapa tamu undangan. Beberapa kali aku sempat bertabrakan dengan tamu lain karena begitu banyaknya tamu undangan, sedangkan rooftop hotel ini sendiri tidak terlalu besar. Setelah mencari keberadaan Tante Widya, akhirnya kami bertemu juga.
"Rini, terimakasih ya sudah menyempatkan diri datang. Pak Hasan juga terimakasih ya."
"Mana Regina?"
Begitu namaku disebut, aku segera keluar dari tempat persembunyianku di belakang Ayah.
"Malam, Tante. Selamat ya." Kataku sambil menjabat tangannya, tak lupa dengan senyum manisku.
"Sama-sama sayang. Terimakasih juga sudah mau datang. Pasti bosan ya? Hehe." Tanya Tante Widya ramah.
"Sedikit Tante. Hehe." Jawabku yang tak lama mendapat sikut dari Ibu.
"Chandra mana, Wid?" Tanya Ayahku sambil melihat ke kanan dan ke kiri.
"Tadi lagi ketemu sama klien dari China. Mau kupanggilkan?"
"Eh tidak usah. Kalau memang sedang bertemu dengsn klien jangan diganggu, Wid."
"Gak apa-apa. Tunggu ya."
"Renji!" Belum sempat Ayah mencegah Tante Widya, ia sudah terlanjur memanggil seseorang.
Tidak berapa lama kemudian muncul seorang lelaki tinggi dengan wajah yang menurutku sih super ganteng hehe. Rambut coklatnya sungguh serasi dengan wajah tegasnya. Tanpa sadar aku sudah menatapnya terlalu lama.
"Kenalin, ini teman mama waktu di Jakarta. Tante Rini sama Om Hasan ini baik sekali loh. Mama sudah sering cerita kan? Bagaimana mereka membantu mama dan papa sampai bisa seperti ini sekarang."
"Oh, iya. Malam Om, Tante."
"Malam, nak. Soal tadi jangan di dengar. Mama mu suka melebih-lebihkan."
"Oh iya, ini Regina anaknya Om sama Tante. Cantik ya?" Kata Tante Widya memperkenalkanku.
Kemudian aku dan Renji berjabat tangan basa basi.
"Eh Ren, berarti betul ya kata mama waktu itu. Yang kita lihat waktu itu berarti Regina."
Aku bingung.
"Hah? Maaf kapan Tante?"