Setelah melewati malam panjang dan tidur yang nyenyak, aku dengan tak rela harus beranjak dari kasur. Aku segera bersiap untuk berangkat sekolah. Aku sudah berencana akan bercerita pada Trisna dan Stefanie, dua sahabat dekatku, tentang kejadian kemarin. Dari awal sampai akhir. Dan aku sudah bisa menebak reaksi mereka akan seperti apa. Memikirkan hal tersebut sudah membuatku tersenyum senang.
"Nanti pulang sekolah jangan ke mana-mana, ya. Langsung pulang ke rumah." Kata Ayahku sesaat sebelum aku berangkat.
"Kenapa Yah?" Tanyaku bingung.
"Om Chandra, Tante Widya, dan anaknya mau ke sini." Jawab Ibu.
"Ngapain, Bu?"
"Mau makan siang bersama katanya."
Aku sungguh bingung. Mengapa pula mereka mau makan di rumah sederhana kami. Ya memang sih, Ibu dan Tante Widya serta Ayah dan Om Chandra sudah berteman lama. Tapi rasanya, ini pertama kalinya mereka mampir ke rumah hanya untuk makan siang. Biasanya, mereka akan mampir ke rumah hanya untuk menunggu Ibu atau Ayahku yang masih bersiap-siap. Kemudian akan pergi makan di restoran keluarga.
"Sudah, pokoknya pulang sekolah langsung pulang ya. Kalau ada les, untuk hari ini dibatalkan saja. Bilang saja ada acara keluarga." Kata Ayah. Aku semakin bingung.
"Acara keluarga?"
"Sudah, nanti saja dibahasnya. Sudah sana cepat selesaikan sarapanmu. Mobil jemputan dari sekolah akan segera datang." Kata Ibu mengakhiri pembicaraan.
Setelah berpamitan, kini aku sudah duduk manis di dalam mobil jemputan yang memang khusus untuk mengantar murid-murid di sekolahku. Aku sungguh sudah tidak sabar untuk bertemu Trisna dan Stefanie. Aku akan menambahkan cerita pagi ini. Setengah jam kemudian mobil yang kunaiki sudah sampai di sebrang sekolah. Aku bergegas keluar setelah mengucapkan terimakashi.
Sedikit berlari, aku menaiki setiap anak tangga dengan tidak sabar. Hampir saja aku menabrak temanku, Desi.
"Gi! Ada apa?" Tanyanya bingung.1
"Sorry, Des. Gue lagi buru-buru. Hehe." Kataku sambil segera berlalu.
Akhirnya setelah menyimpan tasku, aku segera berjalan menuju kelas Trisna. Ah, iya. Aku dan mereka berbeda kelas dan jurusan. Mereka di kelas IPA, aku di kelas IPS. Dengan cepat ku duduk di bangku kosong, di depan tempat duduk Trisna.
"Ada apa nih? Pagi-pagi udah sibuk banget." Tanya Trisna.
"Jadi, lo inget gak sih waktu kita terakhir makan terus ada tante-tante yang ngeliatin gue terus."
"Oh, yang si Ina cerita ya? Yang katanya anaknya ganteng banget."
"Hah? Emangnya ada di sana anaknya?" Aku bingung. Karena seingatku hanya ada Tante Widya di sana.
"Iya. Makanya gue bilang lo mau dijodohin sama anaknya yang super ganteng, ya karena ada dia di sana."
"Kok gue gak lihat sih?"
"Jadi gimana sama Tante itu? Bener lo mau dijodohin?" Trisna dan Stefanie sudah tidak sabar."
"Iya, jadi tante yang waktu itu kita lihat di restoran itu, ternyata temannya Ibu gue."
"Oh, iya?" Ina dan Ani satu suara.
"Iya. Terus, hari ini gue gak jadi ikut kalian ke BEC.
"Kenapa?" Lagi-lagi mereka kompak.
"Katanya nanti siang Tante Widya dan anaknya yang kata lo super ganteng itu bakalan makan di rumah gue."
"OEMJI! Lo bakalan dijodohin sama cowo ganteng itu??" Trisna begitu antusias.
"Ogah banget."
"Kenapa? Kan ganteng banget." Tanya Ani.
"Soalnya kelakuannya jelek banget!" Kataku kesal karena kembali mengingat kejadian kemarin.