“Buku yang mau dipinjam ini saja, ya, Kak. 1 eksemplar; Habis Gelap Terbitlah Terang oleh R.A Kartini. Buku dikembalikan tujuh hari setelah peminjaman, berarti tanggal 11 Oktober 2070,” ujar Aleta, mengukir senyum tipis pada bibir, lalu menyodorkan sebuah buku yang berbalut sampul tipis bening.
Seorang lelaki di hadapan Aleta menerima uluran buku, memasukkannya ke dalam tas, lalu berbalik sepenuhnya dan melangkah pergi. Aleta mendengus, mendadak rasa kesal merasuk hingga ubun-ubun gadis itu. Ia merengut, lalu mengeluh keki, “Setidaknya dia bisa bilang, ‘Terima kasih!’, atau–yah, apa saja, deh. Asal lebih sopan.”
Mendengar itu, seorang perempuan yang juga berdiri di samping Aleta tertawa. Sasaki Kiera–itu namanya. Aleta lalu mencengkram juntaian cokelatnya sendiri, gemas. Heran mengapa Kiera bisa tampak begitu santai dan tidak tersinggung.
“Mau bagaimana lagi?” ucap Kiera. Bola matanya lurus menatap berbagai insan yang tengah membaca. Mereka menelusuri satu per satu huruf di atas lembaran kertas. Begitu fokus dan terserap dalam dunia mereka sendiri. Membaca memang sesuatu hal yang selalu membuat manusia terhanyut dalam semesta yang berbeda. “Kau tahu, kan, bagaimana perlakuan masyarakat terhadap orang-orang seperti kita?”
Aleta mendengus kesal. Selanjutnya, gadis itu mengangkat pergelangan tangan kanan. Benda persegi kecil yang melingkar di sana diberinya tekanan, lalu berikutnya tampilan hologram muncul. Aleta mengganti lagu yang berdentang lembut di seluruh ruang perpustakaan melalui benda itu sebelum membalas, “Justru itu. Ini menjadi sistem negara yang tak tertulis. Maksudku–ayolah. Kenapa kita harus didiskriminasi hanya karena sedikit, kau tahu, tidak mampu?”
“Hm-mnn, bagaimana, ya …,” Kiera bergumam, memutuskan kalimatnya di tengah. Ia mengingat-ingat lagi soal apa yang kakek dan neneknya sering katakan padanya. Sebuah sejarah. Sebuah situasi di mana ketika mereka sebagai bangsa lain menginjakkan kaki kali pertama di Indonesia. Mukashi no hanashi–dalam bahasa Jepang, itu berarti cerita masa lalu. Sudah lewat; sudah terjadi dan sekarang tidak ada lagi. “Dulu, lima puluh tahun lalu, meski tidak semua rakyat Indonesia terjangkau dan diberi subsidi bagi yang tidak mampu, tapi diskriminasi tidak sejelas ini. Kita tidak dibedakan menjadi insider dan outsider.”
Aleta mengangguk. “Itu juga yang kubaca dalam buku sejarah. Ironis,” desis Aleta, tersenyum timpang. “Pada saat di mana pemerintahan dapat lebih baik dalam mengurus dan menghidupi rakyatnya, saat itu pula batas tak kasat mata tercipta di antara masyarakat; memisahkan mana yang pantas dan mana yang hina.”
Kiera lagi-lagi menyengir lebar. “Eh, tapi, hari ini aku dapat iga babi, kok. Terus, uang bulanan yang dikirim juga cukup untuk adikku membeli sepatu baru!”
Aleta, mau tak mau, terkekeh kecil. “Yah, kalau dilihat dari sisi positifnya–lumayan.”
“Ya, kan?” ujar Kiera. “Mungkin …,” Kiera terdiam sesaat. Ia tengah memikirkan kata-kata terbaik baginya untuk disuarakan. “Suatu hari, keadaan ini bisa berubah, loh.”
Ada kesunyian untuk kalimat yang baru saja termuntah itu. Aleta mengangguk, lalu menengadah. Menatap langit-langit perpustakaan yang tinggi di atasnya. Memperhatikan kerlap-kerlip lampu dan hologram berbentuk awan untuk memberi sentuhan seni pada ruangan.
“Kau benar. Suatu hari.”
.
“Satu chocolate croissant, ice lemon tea, dan french fries. Enjoy,” Arsa memasang senyum bisnisnya. Bibir itu membentuk kurva, lalu ia pamit undur diri. Berjalan ke dekat kasir, Arsa menaruh nampan di sebuah meja, lalu menghela napas pelan. Tak lama, pundaknya ditepuk oleh seseorang. Arsa memutar kepalanya ke belakang, lalu tersenyum tipis. Kali ini, tulus–bukan sekadar senyuman yang biasa ia pasang demi menyenangkan hati para pelanggan.
Isra Humaira menyengir. “Tuan populer!” ujarnya, sedikit berbisik. Tertawa soal dua pelanggan wanita yang baru saja datang sedari tadi melirik ke arah Arsa. Lelaki yang memiliki bola mata abu-abu itu hanya tersenyum, menggeleng-geleng. Berikutnya ia mengangkat lengan kirinya, memperlihatkan gelang hitam yang membungkus pergelangan tangannya.
“Tuan populer ini tetap akan sulit mencari kekasih selama gelang ini masih melingkar di tangannya, Isra,” sahut Arsa. Isra paham–meski berkelakar menggunakan nada yang ramah dan lembut, Isra lebih dari tahu bahwa kawan baiknya itu, sebetulnya juga muak dengan apa yang ada sekarang.
“In shāʾ Allāh, besok dapat kekasih yang sayang apa adanya.”
Arsa tertawa. Ini satu hal yang membuatnya betah berkawan dengan Isra. Selain kemiripan dalam nama mereka dan meski mereka berbanding terbalik dari berbagai aspek–namun, Isra selalu bisa membalas kata-katanya. Bukan sebagai seorang insider kepada outsider, tapi sebagai seorang teman kepada temannya yang lain. Sesederhana itu. Dan menurut Arsa, itu adalah hal yang amat berharga.
“Amin,” balas Arsa. Tak lama, daun pintu kafe kembali terbuka. Lonceng yang ada di atas pintu berdenting manis, suaranya memantul hingga ke sudut-sudut dinding. Sigap, Arsa meraih buku menu dan berniat mengikuti arah duduk si lelaki yang baru saja datang. Namun hatinya berubah seketika saat lelaki itu mengempas jatuh seorang wanita lain yang juga baru masuk kafe.
“Idih, outsider. Jangan dekat-dekat!”
Arsa menaruh buku menu sembarang. Isra menahan napas, lalu begitu sadar bahwa Arsa melangkah tegas ke depan, Isra memanggil dengan lirihan yang hampir tak terdengar, “Arsa–”
Berikutnya, Arsa membantu sang wanita untuk berdiri. Senyum diberikan dan ia bertanya lembut, “Kau baik-baik saja?”
Sang wanita mengangguk. Ada rasa takut sekaligus malu yang terpantul pada bola matanya. Arsa melirik pergelangan tangan si wanita dan ia menemukan satu hal yang ia cari–gelang hitam. Menghela napas, Arsa menghadap si lelaki yang baru saja bertindak kurang ajar. Ia tersenyum, namun nada yang selanjutnya melantun dari belah bibirnya tentu tidak mengandung unsur persahabatan, “Saya mohon silakan keluar. Kafe ini tidak menampung pelanggan yang tak mempunyai tata krama dan moral.”
Sontak, wajah sang lelaki memerah. Entah murka atau malu yang membungkus dari atas hingga bawah, pada intinya lelaki itu tak terima. “Apa-apaan kau! Outsider hina–!”
Tinju terkepal, siap dilayangkan. Arsa menurunkan pelupuk atas reflek tulang belakang. Pengunjung yang lain terpaku di tempatnya, bersiap akan baku hantam yang akan terjadi sebentar lagi. Namun sebelum pukulan itu benar-benar mendarat pada rahang Arsa, Isra sudah lebih dulu menahan lengan sang lelaki. Begitu sadar tidak ada jotosan yang menghajar ruas pipinya, Arsa membuka mata.
Isra tersenyum. “Maaf, Pak. Kalau Anda tidak suka diberitahu oleh seorang outsider, saya bisa memberitahu Anda. Tolong keluar, sekarang."
Setelah kalimat itu, si lelaki mendecak kesal. Menggeram dan menggertakkan gigi. Ia pun melangkah keluar dari sana dengan berbagai pisuhan. Setelah itu, Isra menuntun sang wanita untuk duduk di sebuah meja. Lelaki itu berikutnya menepuk-nepuk punggung Arsa.
“You okay?” tanyanya.
Arsa mengangguk. Tak memberi jawaban verbal. Sebab pikirannya kini penuh oleh benda hitam kecil di pergelangan tangannya. Ia terdiam, melihat lengan kirinya. Berikutnya ia meraih menu, lalu memasang senyum seperti biasa.
.
“Sial–aku muak!” Aleta mendesah lelah, membiarkan sebelah lengannya terjatuh di sisi sofa sementara tubuhnya terbaring di atasnya. Arsa menarik napas, lalu menghelanya lamat-lamat.
Ia ingin sekali membalas sesuatu seperti, “Aku juga”, tapi bila itu ia lakukan, Aleta hanya akan semakin merajuk dan mengeluarkan caci makian. Maka, alih-alih mendukung umpatan sang gadis, Arsa berujar, “Tidak seperti ini pertama kalinya kau diperlakukan begitu, Aleta.”
Yah–itu terdengar lebih mengenaskan, sesungguhnya. Namun sejak awal, Arsa bukanlah orang dengan petah lidah. Ia tak manis dalam berkata-kata, serta seringkali tidak bisa mengungkapkan isi hatinya. Meski begitu, Aleta tahu apa yang Arsa maksud. Aleta mendengus pelan, tidak membalas. Ia biarkan lagu kuno mengalun di ruangan itu, diiringi oleh suara ketuk konstan akibat pertemuan antara bilah pisau dan talenan. Suara memasak yang diciptakan oleh Arsa.
Menatap ke arah jendela yang begitu besar, Aleta terdiam sesaat. Baginya, satu-satunya hal yang bagus dari vertical housing ini ialah ia dapat melihat terbitnya mentari. Tinggal dalam sebuah, sebutlah–rumah susun sebetulnya sungguh tidak nyaman. Terutama bila memiliki tetangga yang mengesalkan. Meski begitu, angkasa dan sang surya adalah dua hal dari beberapa yang Aleta sukai dari rumah mungilnya ini. Kala ia tidak terlalu lelah karena pekerjaan, Aleta akan bangun lebih pagi, hanya untuk melihat mentari merangkak perlahan dari balik horizon bumi.
“Apa kamu tidak kesal, Arsa?”
Arsa menuang potongan kecil wortel dan kentang ke dalam panci dengan air yang mendidih. Perlu beberapa sekon sebelum akhirnya pemuda beriris abu-abu itu menemukan suaranya, “Soal?”
“Jangan pura-pura bodoh.”
Arsa terdiam. “Kalau ini masih soal pemisahan kasta, yang mana sebetulnya bukan peraturan tertulis tapi pemerintah memutuskan diam saja soal itu–aku tidak komentar,” ujar Arsa. Namun meski ia berkata begitu, ada eksplanasi yang menyusul, “Kita mendapat pekerjaan dengan bantuan pemerintah. Subsidi, rumah ini–semuanya memang, pada nyatanya, diberikan secara cuma-cuma. Lagipula, kita yang tidak menempuh pendidikan tinggi bisa apa? Pemerintah hanya mau membiayai sampai SMA, lalu sebagai ganti tempat tinggal dan makanan sehari-hari, sisa hidup kita hanyalah mengabdi pada negara. Itu kenapa kau kerja di Perpustakaan Nasional, kan?”
Aleta menggunakan lututnya untuk bertumpu di atas sofa. Selanjutnya ia melihat ke belakang, di mana Arsa sibuk di dapur kecil mereka. Aroma kare menguar dan lampu kecil pada penanak nasi mengedip beberapa kali, tanda bahwa nasi telah matang. “Tapi, kau boleh bekerja di kafe.”