Arsa memijit pelipis. Rasa-rasanya ia semakin pusing saja. Belum lagi bila mengingat segala penjelasan Aleta semalam. Kurang tidur, itu sudah pasti. Isra yang melihatnya tersenyum kecil. Menepuk keras pundak Arsa hingga lelaki tanggung beriris abu-abu itu tersentak kaget. Isra tergelak, merasa berhasil telah mengembalikan kesadaran Arsa pada tempatnya berpijak.
Arsa merengut, mengusap-usap pundaknya. “Kau mengagetkanku."
Isra mengangkat bahu. Berpura-pura dungu. Arsa semakin tergoda untuk meninju pelan lengan kawannya, maka itulah yang ia lakukan.
“Apa, sih, yang kaupikirkan?”
Arsa menarik napas, lalu menghelanya lamat-lamat. “Biasa. Aleta semakin aneh-aneh saja. Kurasa ini karena pubertas?”
Isra menggeleng-geleng, terkikik kecil. Mana mungkin karena itu. “Yah, apa pun yang dia lakukan,” ujar Isra, menopang dagu dengan sebelah tangan. “Pastikan kau menemaninya, loh. Kalian, kan, hanya memiliki satu sama lain.”
Arsa mengangguk. Ia sangat setuju. Meski begitu, ia tak pernah habis pikir akan paradigma Aleta. Terkadang, baginya, gadis itu dapat menjadi enigma dan teka-teki yang menyusahkan. Bukan–sebetulnya, bukan berarti ia tak memahami gadis itu. Ia paham sekali apa maunya, atau apa tujuan Aleta selama ini. Namun, tetap saja–sulit untuk dicerna dengan logika. Sebab gadis itu memang berisi mimpi-mimpi yang tak mungkin dan tak masuk akal.
Arsa bahkan ingat gadis itu pernah menempel sebuah kertas di dinding bertuliskan; “Ini aku! Putra ayahku! Berikan padaku sesuatu yang besar untuk kutalukkan! Beri aku mimpi-mimpi yang tak mungkin karena aku belum menyerah! Takkan pernah menyerah. Takkan pernah! ― Andrea Hirata, Padang Bulan.”
Sekali lagi, Arsa menekan dahinya, mengingat-ingat kejadian semalam.
.
.
.
Aleta melangkah hati-hati. Berusaha mendekat, namun mobil yang melaju di antara bundaran tak memberi kesempatan. Mendecak kesal, Aleta merogoh backpack miliknya. Yakin bahwa ia tak lupa membawa kacamata–ah, itu, dia. Setelah menemukan kotak berbentuk persegi dengan dua sisi tumpul di kiri dan kanan itu, ia membukanya, mengenakan kacamata berbingkai cokelat.
Gagang kacamata diketuknya dua kali dengan jari telunjuk. Lensa kacamata otomatis menjernihkan pandangan, memperbesar visual dua kali lipat. Aleta mengerutkan dahinya ketika ia benar-benar yakin siapa dua wanita yang tengah memaku langkah tepat di Bundaran HI itu. Aku tidak salah!
Ia menjerit dalam hati. Menahan senyum yang begitu sadar telah terukir pada bibir merah muda pucatnya. Meski wajah kedua wanita ditutupi oleh topi, namun itu cukup jelas baginya.
Resa Pangesa dan Edith Fahira. Bagaimana mungkin aku salah? Wajah mereka sering muncul di berita dan media sosial.
Aleta mengerjapkan pelupuknya dua kali, cepat. Seketika, lensa kacamata memotret, lalu menyimpan gambar dalam galeri. Berikutnya tanpa membuang waktu, Aleta mengetuk ponsel pada pergelangan tangannya, lalu berbisik rendah, “Amaya?”
“Ya, Ms. Aleta?”
“Aktifkan mode rekaman. Tangkap seluruh suara dalam radius tiga ratus meter.”
Tanpa berpikir terlalu lama, IA itu menyahut, “Tapi, Mrs. Aleta, melanggar privasi orang lain terutama menggunakan teknologi yang dibuat oleh pemerintah sudah ada dalam Undang-Undang. Bila ketahuan, Anda akan terkena beberapa pasal.”
Aleta tertawa kecil. Oh–ia terlalu bersemangat! Sebab gerak-gerik dua wanita itu semakin mencurigakan dan menyita atensinya. Tentu saja ia tak ingin buang-buang waktu soal ini. Maka Aleta membalas cepat, “Tapi, tidak seperti Intelegensi Artifisial lainnya, kau bukan ciptaan Tikus Kerah Putih itu. Plus, ponsel ini bukan buatan pemerintah. Ini produksi perusahaan swasta yang kemudian dimodifikasi oleh Arsa. Tolong lakukan saja. Aku tahu kau bisa.”
Ada hening yang sempat mengambil alih. Namun berikutnya, suara artifisial Amaya berkumandang lembut, “Baiklah, Ms. Aleta. Rekaman diaktifkan. Menangkap seluruh suara dalam radius tiga ratus meter.”
Bagus! Arsa memang hebat.
Sementara ponselnya ada dalam posisi merekam, Aleta masih memerhatikan baik-baik dua wanita itu. Mereka bertukar kata untuk sesaat, terkikik kecil di balik topi yang menutupi kepala. Aleta sempat melihat tawa kecil di antara keduanya, hingga ia sadar bahwa salah satunya membawa koper hitam. Tidak terlalu besar–barangkali hanya sedikit lebih besar dari kertas A4. Bisa dikatakan mungil, malah, untuk sebuah koper jinjing. Aleta kembali mengerjapkan pelupuknya kilat dan mengambil gambar sebanyak yang ia bisa.
Ketika akhirnya dua wanita itu memutuskan untuk berhenti berbicara, keduanya berbalik arah, sepenuhnya melangkah menjauh seolah tak pernah saling kenal. Aleta melepas kacamata, menaruhnya kembali pada tempat asal. Di waktu yang tepat, taksinya datang.
.
Arsa menyalakan mesin mini berbentuk persegi. Berikutnya, hologram tampil di atas meja makan. Arsa mengulurkan sebelah tangan pada Aleta dan gadis itu paham. Aleta menyerahkan kacamata yang tadi ia gunakan untuk mengambil gambar. Selanjutnya Aleta juga melucuti ponsel di pergelangan tangan, memberikannya pada Arsa. Mengutak-atik kedua benda itu, kemudian Arsa mengenggam telapak tangannya sendiri. Ia membawa genggaman itu selaras dengan iris abu-abunya, lalu membuka kelima jemarinya cepat–seolah ia tengah menghamburkan sesuatu ke udara.
Hologram itu menampilkan beberapa foto persegi yang jernih dan data rekaman.
“Amaya, tolong saring rekamannya. Pisah semua suara. Buang yang tidak penting seperti suara kendaraan. Jernihkan suara yang serupa dengan Resa Pangesa dan Edith Fahira. Ambil sampel suara mereka melalui berita di televisi, U-Tube, media sosial mana pun.”
“Baik, Mr. Arsa.”
Berikutnya Amaya bekerja. Video dan gambar yang bergerak datang dan pergi ke visual mereka. Aleta tersenyum cerah, ia selalu suka bagaimana Arsa bekerja. Teliti dan amat presisi. Aleta selalu merasa Arsa adalah seseorang yang selalu paham apa yang harus dilakukan. Meski menghadapi kasus baru, atau masalah baru, Arsa selalu saja bisa mengatasinya. Karena itu, Aleta tak ragu untuk selalu mendatangi sang lelaki ketika ia memiliki masalah atau batu yang menghadang. Melihat cengiran pada bibir tipis Aleta, Arsa mendengus tipis.
“Kalau setelah mengganggu tidurku ternyata ini bukan apa-apa,” ujar Arsa, sedikit menggertak. “Aku tak akan memberikanmu uang jajan.”
Aleta tergelak, tidak membalas. Tentu saja Arsa tidak akan melakukan itu. Bagi Aleta, Arsa ialah seseorang yang tegas namun penuh kasih sayang di saat yang sama. Selalu ada toleransi yang diberikan oleh lelaki itu. Selalu ada kelembutan yang terlihat dari setiap tindak-tanduknya yang seolah beringas. Hanya karena Aleta merisak waktu tidur Arsa dan mengganggu lelaki itu dengan temuannya seperti ini, Arsa tidak akan berhenti memberikannya uang saku.
Lagipula ia tahu aku membenci pemerintah, Aleta tersenyum tipis. Ia hanya memberiku uang saku dari hasil pekerjaannya di kafe, bukan uang bulanan dari tikus-tikus itu.
Satu hal lagi mengapa Aleta sayang pada Arsa. Lelaki itu paham sekali soal dirinya, hingga kadang tak perlu kata-kata untuk menjelaskan.
Suara Amaya kembali terdengar, “Mr. Arsa, saya sudah membersihkan suara dan melakukan verifikasi pada potret yang diambil oleh Ms. Aleta. Kemungkinan bahwa dua wanita yang dilihat Ms. Aleta adalah Resa Pangesa dan Edith Fahira mencapai 98,9 dan 99,6 persen. Foto ini saya bandingkan dengan foto formal Menteri BUMN Resa dan foto formal Menteri Keuangan Edith, serta melalui foto-foto lainnya yang tersebar di internet.”
Suara sebuah tangan yang saling telak tabrak terdengar. Arsa tersentak, menoleh ke sampingnya, menemukan kedua telapak tangan Aleta telah bersatu. Netra gulma Aleta begitu berkilat, dipoles oleh cahaya lampu. Mungkin itu salah satu mengapa bola mata Aleta amatlah berbinar saat ini. Selain karena rasa bahagia yang kelewatan, tentu saja.
“See!” Aleta berseru, meloncat. Tak bisa diam, sungguh. Arsa menggeleng-geleng.
“Amaya, putar rekamannya.”
“Segera, Mr. Arsa.”
Aleta menajamkan pendengaran. Tak dapat dibohongi, kini jantungnya berdetak. Dentumnya keterlaluan keras dan cepat, sampai-sampai gendang telinga Aleta mendengar tabuhannya.
“… brztt– …. Ya, saya juga tidak sangka Anda mau diajak bekerja sama, loh.”
Arsa meneguk saliva. Ia sering menonton berita. Ia terkadang menikmati debat antar tokoh politik–jujur saja. Karena itu, ia juga yakin bahwa ini suara Edith Fahira yang asli.