Jadi perempuan itu jangan jutek. Seharusnya lembut dan ucapannya penuh kasih dan sayang. Apalagi kalau sudah jadi ibu dari anak-anak saya.
-
-
Ponsel Afiqah berdering, ia mengalihkan pandangannya dari Arsena. Tertera nama Andreas disana, tanpa ragu Afiqah mengangkat panggilan tersebut. Hal itu tak lepas dari perhatian Arsena. Pria itu tanpa sadar melempar batu kecil ke sungai mendengar setiap perkataan gadis itu.
"Aku di telaga biru." Ujar Afiqah disaat Andreas menanyakan keberadaannya. Ia hanya bisa meringis disaat Andreas melontarkan perkataan kasar. Mungkin pria itu moodnya sedang buruk.
"Baiklah aku tunggu kamu disini."
"Aku enggak sendirian kok disini. Aku sama pak polisi yang tadi pagi." Setelah Andreas mengakhiri panggilannya, Afiqah menutup ponselnya. Ia jongkok di samping Arsena menghadap telaga.
"Sudah selesai telponnya?" Tanya Arsena.
"Sudah." Jawab Afiqah pendek. Ia mendelik menatap Arsena marah. Gara-gara pria itu membawanya kesini Andreas jadi marah padanya.
"Jadi perempuan itu jangan jutek. Seharusnya lembut dan ucapannya penuh kasih dan sayang. Apalagi kalau sudah jadi ibu dari anak-anak saya." Sindir Arsena yang sedari tadi merasakan hawa permusuhan dari Afiqah.
"Biarin! Sayakan ceritanya lagi marah sama bapak. Lagian saya juga ngak mau jadi istri bapak!!!"
Arsena terkekeh mendengar itu. Ia menggelengkan kepalanya merasa aneh dengan sikap Afiqah yang sangat ekspresif. Gadis itu mudah sekali di tebak. Bahasa tubuhnya menjelaskan suasana hatinya yang tidak dapat dengan mudah menutupi apa yang Afiqah rasakan.
"Bapak kenapa ketawa? Emang ada yang lucu?"
"Kamu."
"Apa?"