Segera Hera menampik tangan Danu pelan dari dagunya. Ia mengernyit kebingungan bersama perasaannya yang campur aduk. "Apa maksud kamu masalah yang sama?"
Danu perlahan menunduk. Mengusap tengkuk gugup sedangkan kaki kirinya mengetuk-ngetuk lantai menunjukkan sebuah kesedihan yang mendalam dibalik tatapan dinginnya.
"Seharusnya lo tahu sampai mana batas privasi seseorang," balas Danu sekejap. Ia mendongak, menatap Hera bersama mata elangnya. Danu menggeleng pelan saat gadis itu mulai melunturkan sebuah kernyitan. "Di saat kayak gini ... Gue nggak mau bahas itu."
"Oh, maaf." Hera melipat kedua sudut bibirnya. Kedua tangan Hera saling bertaut ke belakang sebagai pertanda bahwa dirinya merasa bersalah. Tapi yah, seperti itulah, saat seorang perempuan sungguh penasaran, rasa itu tidak akan bisa hilang sebelum mengetahui kebenarannya. "Aku kira aku boleh tahu sedikit."
"Jangan mulai suka ikut campur urusan orang lain," tampik Danu mengalihkan pandangan muak. Ia berdehem. Tatapannya kembali pada Hera saat mengingat tentang hal pertama yang seharusnya ia katakan segera pada gadis itu.
Hera menunduk. "Iya."
Danu melipat kedua tangan di depan dada. Mungkin ini akan menjadikan suasana yang lebih menjengkelkan ketika Hera senantiasa berpura-pura bodoh dan berlagak tidak mengetahui apapun. Ia menghela napas berat ketika Hera mendongak kembali.
"Lo nggak pernah tanya gimana perasaan gue saat ini?" Danu memandang gadis itu benar-benar lekat. Kedua sudut rahangnya sekejap tegas saat Hera malah mengernyit kebingungan. Ia tertawa renyah, menunduk sembari memegang pangkal hidung. "Udah gue duga."
Danu mendongak. Ia berkedip tidak nyaman ketika Hera malah terlihat menghawatirkannya. "Gue suka sama lo, lo tahu?"
"Aku tahu ... Dan kamu udah pernah bilang itu," balas Hera sembari mengangguk, ekspresinya masih terlihat khawatir saja.
"Gue kira lo masih belum paham ..." Lirih Danu.
Hera melunturkan kernyitannya, merundukkan pandangan beberapa detik, mencoba mencari cara untuk mengatakan sesuatu tanpa menyinggung siapapun. "Aku cuma sadar, kalau kamu mau dekat sama aku hanya karena kamu lagi bosen, kan? Dan orang yang sepantasnya kamu perjuangkan itu adalah Sukma, harusnya kayak gitu, walau sampai kapanpun kamu bersikeras buat dekat dengan aku hanya karena kamu mau berubah, itu sia-sia, karena yang bisa merubah diri kamu itu ya kamu sendiri, Danu."
Danu terdiam. Memeras otak ketika pernyataan itu terasa masuk akal juga. Ia memegang tengkuknya gugup, pandangannya ngalor-ngidul mencari sebuah alasan. Kemudian ia memantapkan tatapannya lagi, menghadap Hera, semakin mempertegas mata elangnya lalu membalas, "gue hanya mau jawaban terakhir dari lo, sebelum gue pindah ke lain hati."
Hera mengangguk-angguk.
"Aku nggak bisa dengan mudahnya jatuh cinta sama orang lain ... Karena sekarang, hati aku cuma mau sebuah perasaan dari orang yang aku suka," singkap Hera tak kala dirinya harus merelakan tatapan dingin Danu menusuk relung hatinya.
"Lo benci sama gue?" Tampik Danu kesal.
Hera segera menggeleng bersama raut khawatirnya. "Bukan gitu, maksudku—"
"Lo suka sama orang yang udah punya pacar?" Tampik Danu tanpa pikir panjang, dan untuk kedua kalinya. Demi apapun perasaannya kini semakin memanas akibat kalimat tidak jelas yang Hera lontarkan.
Hera menggeleng seraya menunjukkan ekspresi kesalnya seketika. Kedua tangannya mengepal keras. Bola matanya membulat tegas menatap Danu. "Aku nggak pernah bilang begitu."
"Seseorang, kadang diberi takdir untuk menjadi cerita sedih di dalam kehidupan orang lain, begitu juga sebaliknya, mungkin, sekarang aku lagi jadi bagian dari cerita menyedihkan itu."
"Dan aku juga nggak bisa hilang begitu aja." Ucap Hera kembali menggeleng pelan. "Karena aku lagi hidup dalam cerita seseorang sekarang."
"Walaupun orang itu punya banyak tokoh yang dia sayangi dalam hidupnya, tapi itu nggak menutup kemungkinan untuk aku tetap ada di ceritanya, selama orang itu masih mau peduli."
Danu menunduk. Begitukah? Saat orang yang dicintainya berakhir menyukai orang lain? Hahah, seperti cerita drama romantis kebanyakan, hanya mengandalkan perasaan yang sia-sia dibandingkan yang sudah benar-benar jelas. Kali ini, entah kenapa ia sungguh kesal, kesal, dan kesal. Tapi apalah dayanya ketika takdir memang berkata lain.
"Lo benar," lirih Danu seraya mendongak. Pandangan dinginnya semakin tertancap jelas. "Setiap cerita pasti berakhir, dan gue sadar kok ... Gue yang salah bisa suka sama lo."
Hera meneguk ludahnya kasar.
"Kalau lo emang suka sama Arshel ... hati gue bakalan tenang, gue akan bahagia kalau lo suka sama Arshel," celoteh Danu membuat Hera kembali pada kernyitan herannya.
"Terus tujuan kamu apa ngungkapin ini? Kamu nyadar nggak, sih, kamu udah nyakitin diri kamu sendiri," balas Hera jengah.
Danu mengangguk. "Itu lebih baik, daripada lo yang ngerasain rasa sakit ini, gue yang bego udah suka sama lo, gue cuma mau jadi orang yang berguna buat lo, nggak masalah bahkan lo bisa anggap gue benalu."
Hera tertawa renyah, sempat tak mempercayai perkataan Danu.
"Zia mau ... lo sama Arshel punya perasaan lebih."
"Lo harus lakukan itu, untuk permintaan terakhirnya."
***
Hera berlari tunggang-langgang melewati sebuah lorong yang luasnya melebihi luas rumahnya. Kepalanya menoleh kanan-kiri, mencari seseorang yang sedari tadi tak kunjung ditemui. Bahkan dadanya sampai terasa sesak karena berlarian hampir mengelilingi seluruh sudut sekolah.
Ia berhenti di depan pembatas tangga, membungkuk memegang lutut, membiarkan napasnya berjalan normal. Otaknya mulai bekerja mencari tahu kemana lagi dirinya harus berlari.
"Lo harus lakukan itu, untuk permintaan terakhirnya."
"Arshel ... Kamu di mana, sih ..." Gerutu Hera sembari melihat sekitar.
Seketika Hera tertegun sesaat setelah mendengar sebuah langkah kaki sedang turun dari tangga dengan santainya. Ia menoleh ke arah suara itu, mendongak, menanap tak kala mengetahui orang yang dicarinya kini berada di depan mata.
Seorang Arshel, tengah turun dari tangga rooftop, menyaku kedua tangan pada saku celana, kancing atasnya terbuka serta dasi yang sudah longgar, rambut terlihat acak-acakan ditambah dengan luka lebam di sisi kanan keningnya. Laki-laki itu berdiri di depan Hera. Kali ini ia tak tanggung-tanggung untuk melontarkan tatapan dingin itu.