20 menit yang lalu.
DUG!
"Aggh!" Bagus. Sekarang keningnya mulai lebam akibat sengaja di benturkan. Kepala Arshel menempel pada tembok, menunduk, terpejam hingga rasa pusing itu tak lagi mengganggu. Sungguh keterlaluan ketika benaknya lagi-lagi harus mengingat bagaimana pengecutnya seorang Arshel.
DUG!
DUG!
Sekali lagi kedua buku-buku tangannya kini giliran terluka, penuh darah segar menyebabkan sedikit ringisan. Tak tanggung-tanggung, ia mengulangi, menonjok tembok di depannya itu sampai amarahnya berhasil menghilang. Sekarang sedikit lega.
Ia terjatuh lemas menyender pada tembok. Deru napasnya mulai sengit. Kedua tangan Arshel lemas serta rasa pusing yang malah semakin menjadi. Arshel meremas rambutnya saking frustasinya sekarang. Entah, ia juga bingung kenapa dirinya bisa menjadi segila ini, normal juga saat seseorang yang dicintai sedang dalam kondisi buruk dan kita bisa ikut menjadi buruk pula. Tapi, Arshel benar-benar tak mau seperti ini.
"Gue harus gimana ...."
"Harus gimana lagi!" Pekik Arshel menggeliat kesal. Ia mendongak menatap langit yang terlihat begitu cerah, sampai-sampai terasa langit pun sedang menertawakannya. Untunglah, di dalam rooftop yang setiap hari selalu sepi, Arshel dapat sepuasnya berbuat apapun di sana.
"Gue mau lo di sini ...."
.
.
.
.
.
.
"Haah." Arshel segera membeliak terkejut ketika baru saja melalui mimpi terburuknya. Keringat bercucuran di pelipis tanda mimpi itu masih saja terngiang. Napasnya sesak sebab betapa ketakutan ia saat berada dalam alam bawah sadar itu. Ia menyibakkan rambut sembari membuang napas kesal, kemudian bangun.
Minggu, 07.35.
Arshel beranjak turun dari ranjang. Berjalan menuju dapur kemudian meneguk segelas air minum dengan tergesa-gesa. Ia menunduk, menaruh gelasnya kasar di atas meja dapur, kedua tangannya menetap menopang tubuhnya di atas meja seraya menatap pemandangan cerah di depan jendela. Pagi ini begitu sengit saat lagi lagi dan lagi benaknya harus mengingat tentang kondisi Zia.
"Mimpi paling buruk ...." Arshel menghela napas gusar. " ... Adalah tentang Zia."
"Gue tetap kepikiran sama lo," imbuh Arshel sengit.
Ngeong!
Arshel segera tersadar dari lamunan. Ia menoleh ke belakang saat suara kucing peliharaannya itu mulai terdengar, namun jauh. Arshel mengernyit kemudian berjalan ke arah ruang tamu, kali saja Jung berada di sana.
Tidak ada. Arshel mencari kembali di dalam kamarnya, kamar mandi, gudang, dan tetap tidak ada. "Jung!"
Ngeong!
Arshel segera menemui asal suara itu. Ternyata kucing tersebut tengah berada di luar rumah. CKLEK! Segera Arshel membuka pintu utama dan keluar dengan tergesa-gesa.
"Jung! Lo—"
Ia mendadak terpatung di ambang pintu ketika melihat Jung sedang tidak sendirian di depan teras rumah. Sorot matanya menanap serta tegukan ludah berat yang benar-benar mengejutkan.
Seorang gadis cantik sedang berjongkok di depan Jung, dengan rambut kuncir kuda yang terlihat indah menunjukkan lehernya yang jenjang, setelan casual membuatnya terlihat cantik, apalagi dengan senyum ceria saat menatap Jung. Gadis itu menoleh pada Arshel tak lepas dari senyum manis itu. Ia berdiri bersama Jung yang tiba-tiba berada digendongnya.
Arshel segera berlari menuju gadis itu dengan ekspresi khawatir yang berlebih. Lekas mengambil Jung dari dekapan gadis di depannya ini, kemudian bergantian memeluk Jung. Sorot mata Arshel menatap cemas pada manusia cantik itu. Demi apapun Arshel sungguh geram dengan gadis satu ini.
"Bahaya, Hera," pinta Arshel betul-betul merasa bersalah.
Hera menggeleng pelan, senyumnya semakin terlihat nyaman ketika memandang Arshel sedang mencemaskannya. Dan hal itu pula yang membuat Hera senang, saat seseorang mau peduli. Ia melebarkan kedua tangan sembari menelisik seluruh bagian tubuhnya, sungguh tidak ada yang terjadi, seperti ... Bersin, gatal, atau semacamnya? Yah, mungkin gadis itu tengah memakai ilmu sihir sampai bisa se-kebal sekarang.