Hera menghela napas panjang. Malam ini ia benar-benar tidak dapat tidur dengan nyaman karena sekujur tubuhnya terpenuhi rasa gatal dan kedinginan. Sehabis pulang dari rumah Arshel, ia segera pergi mandi, mengoleskan krim alergi pada bagian tubuhnya yang gatal, dan yah, semua itu akibat ulahnya yang mau-mau saja mengambil resiko demi memperbaiki sebuah keadaan.
"Nggak apa-apa, deh." Segurat senyum mulai terpancar walau kedua kelopak mata itu sedang terpejam. Ia menggaruk tangannya perlahan. Dalam gelapnya pandangan, di situlah Hera mulai mengingat hal apa saja yang seharian ini ia lakukan bersama Arshel. Hah, sungguh indah untuk hari ini.
Gadis manis itu seketika membuka mata saat mengingat tentang sebuah benda berharga yang sempat ia lupakan. Sorot matanya mendapati sebuah topi baseball di atas nakas. Ah, hampir lupa, topi itu ... Menjadi saksi bisu kenapa Hera masih saja menyukai seorang Arhsel. Ia mengembangkan senyumnya segera. "Aku ingat saat itu, aku kira akan berjalan semudah yang diharapkan."
Hera mengambil topi itu kemudian menatapnya tanpa melunturkan senyum. "Ternyata ... Malah melebihi ekspektasi."
"Semoga hari berikutnya akan semanis hari ini."
***
"Tumben lo dateng siang," sindir Meira yang sekarang tengah duduk di atas bangku Ruby, menatap pemilik bangku itu seraya menunjukkan tatapan sinis.
"Masih jam tujuh kurang seperempat, Me," tampik Ruby malas. Tangan kanannya mengibas mengisyaratkan Meira untuk pergi dari bangkunya. Tasnya ia taruh di atas meja kemudian bergeser, memberi jalan untuk Meira pergi. "Gue mau duduk."
"Iya-iya." Meira segera berdiri dan keluar dari bangku Ruby. Dirinya berjalan menuju Hera, beralih duduk di samping gadis pendiam itu seraya melipat kedua tangan di depan dada. Entah kenapa pula tidak biasanya Arshel belum kunjung datang, biasanya saja laki-laki itu sudah berada di tempatnya seraya sibuk berbincang dengan teman sebangkunya. Karena penasaran, Meira menjeda emosinya sejenak, menoleh menatap Hera yang kini tengah sibuk membaca novel. "Arshel kemana?"
"Enggak tahu." Hera menggeleng seraya menutup novelnya. Pembicaraan yang tepat di saat Hera sudah selesai membaca. Ia mengembalikan novel itu ke dalam tas kemudian memosisikan dirinya menghadap Meira. "Kamu punya stok film horor lagi, nggak? Yang kemarin udah habis semua aku tonton."
"WHAT THE ... Lo sinting, ya? Itu 13 film, loh!" pekik Meira benar-benar terkejut. Seketika telunjuk Hera beranjak di depan mulutnya, mengisyaratkan gadis kacamata itu untuk berhenti membuat semua orang menoleh padanya. Bahkan, Ruby yang sedari tadi sibuk dengan handphone, kini menoleh pada Meira bersama tatapan membunuh.
"Please ...." Raut Hera berganti memelas seketika setelah Meira menunjukkan sebuah penolakan dalam ekspresi terkejut itu. Kedua telapaknya saling menepuk membentuk suatu permohonan.
Meira mengangguk gugup. "Masih ada lima stok lagi, sih ... Kalau jantung lo masih kuat."
"Yey!" Senyum semringah Hera seketika terbit. Kedua tangannya mengepal ke atas saking bahagianya mendengar kalimat Meira barusan.
"Lo bener-bener udah berubah, ya, Hera," ucap Meira sedikit tertawa dibarengi dengan benak keheranannya sekarang.
"Tahu gini, mah, aku mau berubah dari dulu," balas Hera lebih melebarkan tawa dari pada gadis di depannya ini. Ia mengembalikan tangan kemudian beralih menopang dagu di atas meja, tawanya luntur menjadikan senyum tipis itu tampak lebih natural. "Aku jadi ingat saat kita pernah jalan ngelilingin sekolah dan cuman diem-dieman doang."
Meira seketika tertawa renyah ketika mengingat saat-saat itu. Sebuah suasana canggung selama 10 menit yang sama sekali tidak menghasilkan apapun.
"Dari awal, aku juga pengen banget bisa punya teman, tapi yah ... Kamu pasti tahu gimana aku."
Meira ikut tersenyum semringah. Ia mengangguk. "Gue paham, kok."
"Aku bersyukur banget bisa lepas dari semua itu, dulu apapun yang terjadi, aku nggak pernah cerita ke siapapun, aku kira mereka semua nggak peduli." Hera melunturkan senyumnya sembari menggeleng pelan. "Ternyata aku cuma overthinking."
Dan Meira hanya mengangguk sembari mengganti senyumnya dengan ringisan tawa.
"Emm." Meira melunturkan tawa, berganti dengan kernyitan heran. "Sorry gue bilang ini, tapi lo ngerti kan kalau fobia lo ini bisa kambuh kapan aja?"
Hera mengangguk pasti.
"Aku tahu, kok, dan aku bisa atasi itu," balas Hera.
Kemudian ia menunduk, senyumnya masih terlihat hangat. "Lagian, aku emang udah memantapkan niat untuk keluar dari masalahku, dan semakin lama aku makin tahu, kalau aku bisa berubah ... karena aku udah paham apa itu bahagia, jadi pasti aku bisa keluar dari masalah ini."
Meira mengangguk setuju. Senyum lebarnya terlihat tulus seperti merasakan kebahagiaan yang terpancar di diri Hera.
"Hera," panggil Arshel yang tiba-tiba datang dengan napas terengah-terengah, berhenti di depan meja kemudian merapikan rambutnya yang basah karena keringat. Ia menghela napas lega setelah Hera mulai mendongak menatapnya, bahkan malah terlihat terkejut.
Hera menghadap pada Arshel benar-benar khawatir. Punggung tangan dengan sedikit bekas gatal itu segera ia sembunyikan. "Arshel? Kamu dari mana aja? Tadi aku nunggu kamu tapi nggak datang-datang, aku kira kamu naik moto—"
"Kuncir lo ketinggalan." Arshel menyodorkan sebuah kuncir rambut hitam milik Hera akibat kecerobohan gadis itu semalam.
Hera menerima kuncir itu, melihatnya sejenak. Benar, itu miliknya. Ia segera menyaku benda itu kemudian meneguk ludah gugup. Entah kenapa Hera bahkan merasa malu hanya karena tatapan Meira dan Ruby sekarang yang terlihat sedang mengintainya itu.
"Kalian habis ngapain?" Tanya Ruby penasaran. Sorot matanya bergantian menatap Hera juga Arshel.
"Emm." Hera tiba-tiba menjadi salah tingkah. Ia mencoba setenang mungkin juga untuk mengulur waktu demi mencari jawaban yang benar-benar dapat mereka percaya. Hera mengusap tengkuk sembari memandang kedua temannya itu. "Aku kemarin main ke rumah Arshel, cuma itu aja, kok."
"Bau-bau mesra, nih, padahal kemarin berantemnya kek mau perang dunia," gumam Meira curiga. Kedua kaki pendeknya itu segera berdiri, kemudian perlahan menjauh dari bangku Arshel, membiarkan laki-laki itu mengambil alih tempat duduknya. Alih-alih juga agar Arshel dan Hera dapat berbincang lebih nyaman.
Sedangkan Ruby, gadis jutek itu segera memalingkan diri menghadap depan seraya sibuk memainkan handphone.
Arshel segera duduk, menaruh tasnya di depan punggung kursi, tatapannya sampai sekarang masih fokus terhadap Hera. "Kenapa semalem nggak bangunin gue?"