Selama dua jam. Arshel hanya berdiam di sudut kamarnya. Menangis frustasi hingga lupa waktu. Di depan jendela menatap manusia berlalu lalang di jalanan. Ia memeluk lutut sembari terus mengeluarkan air mata pedih itu. Dirinya begitu berantakan, tak mau kalah dengan ruangan kamarnya yang dibuat lebih tak karuan. Barang-barang berjatuhan, kertas-kertas berserakan, ranjang yang sudah telanjang akibat sikap berlebihan Arshel. Namun, kali ini ia memang pantas untuk berbuat berlebihan. Seorang laki-laki akan menangis ketika apa yang dihadapinya sudah semakin berat, apalagi ... orang yang dicintainya telah tiada, tidak mungkin akan ada orang yang bersorak sorai jika menjadi Arshel.
Arshel sesekali mengusap air mata di pelupuknya. Tangisnya begitu tenang dan tidak pernah berhenti. Setiap ia teringat dengan memori tentang Zia atau hal-hal kecil yang pernah mereka lakukan bersama, tangis itu semakin merebah kencang. Kenangan di saat dirinya baru pertama kali mengenal Zia, bercanda bersama sampai akhirnya Arshel tahu bahwa mereka berdua saling jatuh cinta, ah, Arshel sangatlah rindu akan memori itu. Sesak di dadanya karena semua kenangan itu akan hilang dalam sekejap dalam benak Zia namun, Arshel tidak akan melupakannya sepanjang hidup.
"Kalau gue tahu ... Waktu kita bersama akan sesingkat ini."
"Gue akan beri semua waktu gue buat lo."
Sekali lagi tangis Arshel semakin pecah. Isakannya betul-betul menandakan perihnya kenyataan yang tengah ia hadapi. "Dan gue akan lebih peka lagi, Zia."
"Gue mohon jangan biarin gue jatuh sendirian di sini."
"Lo janji kita akan tumbuh bersama, kita akan bangun kehidupan yang baik dan hidup bersama di sana, dan lo ... Gimana ... Gue ...." Arshel menunduk pasrah. Ia menghela napas berat. "Sekarang ... Apa yang harus gue lakuin?"
TOK TOK TOK
"Arshel! Nak? Kamu di dalam, 'kan?"
TOK TOK TOK
Suara nyaring seorang perempuan paruh baya dari luar pintu kamar Arshel. Beliau mengetuk-ngetuk pintu begitu khawatir namun, hal itu sama sekali tak menghentikan Arshel untuk tetap diam di sana.
CKLEK
"Arshel?" Seorang Fitri, mamah dari Arshel seperti yang sudah pernah dijelaskan. Wanita paruh baya cantik itu segera menaruh tas kantornya di atas nakas, berjalan cepat menghampiri Arshel setelah melihat betapa menderita anaknya itu. Kedua tangannya beranjak mengangkat rahang Arshel, menatap manik mata sembab sayu itu begitu khawatir. Beliau segera mendekap tubuh Arshel, memeluknya, mengelus lengan atas Arshel, membiarkan laki-laki tangguh itu merasakan sebuah kenyamanan dari seorang ibu.
Remuk tak berujung seperti menghujam perasaan Fitri. Beliau betul-betul tahu apa yang tengah anaknya ini rasakan. Melihat keadaan Arshel seperti bukan Arshel yang selalu ceria di depan ibunya itu ... Spontan membuat Fitri semakin iba.
"Mah, maaf aku nggak bisa kuat untuk nahan semuanya sekarang," lirih Arshel kemudian menyenderkan kepala di atas pundak ibunya.
Fitri segera mengusap air mata di pipi Arshel, lalu beliau membalas, "Mamah tahu apa yang kamu alami, kalau kamu mau nangis, kamu pantas nangis, jangan pernah tahan itu."
Tentu saja. Tangis Arshel malah semakin menjadi. Perasaannya semakin gelisah ketakutan. Ia menghela napas panjang sembari terpejam. "Zia, Mah."
"Iya ... Semua orang lagi merasakan seperti apa yang kamu rasakan sekarang," tutur Fitri seraya mengernyit cemas. Tangannya terus mengelus lengan anaknya, sesekali merapikan rambut Arshel, mengusap air mata pedih itu. Peran seorang ibu tentu sangat Arshel butuhkan di saat seperti ini. Arshel tak dapat menanggungnya sendiri.
"Tapi kenapa semudah ini?" Arshel menyela.
Fitri menggeleng pelan. "Takdir berjalan tanpa mengenal siapapun yang sedang menderita, seseorang pergi, seseorang hadir, seseorang tinggal, kita akan terus menemukan yang seperti itu."
"Mungkin, dengan adanya keadaan seperti ini, kamu diberi tahu untuk bisa lebih kuat."
"Setidaknya karena kamu punya seseorang yang sempurna, tapi nggak ada yang benar-benar sempurna, maka dari itu kamu diberi cobaan untuk tahu bahwa sempurna itu hanya ketika kamu bisa megambil sebuah pesan dari sebuah takdir."
"Kamu nggak bisa bilang kalau semuanya nggak adil." Fitri tetap saja menggeleng. Tatapannya lurus menghadap Arshel begitu lekat. "Karena kamu masih punya seseorang yang hadir dan seseorang yang tinggal, itu pengganti untuk seseorang yang pergi."
"Aku masih nggak bisa terima semua ini," tampik Arshel begitu merenung atas kesedihannya. "Zia nggak pernah bilang apapun, Zia nggak pernah mau tunjukin penderitaannya, dan sekarang ... Aku terlambat untuk tahu."