Dua bulan setelah kelulusan.
Selama itu Hera dan Arshel tak pernah lagi bertemu. Mereka memutuskan untuk sibuk dengan dunianya masing-masing, bukan, mungkin hanya Hera sekarang yang tengah kalang kabut sendiri mendaftar di sebuah kampus impiannya, entah dapat terwujud atau tidak. Sedangkan Arshel, yah, anak itu semakin lama makin tidak jelas. Menyendiri di dalam kamar, keluar hanya untuk mengisi perut, setiap hari hanya memandang jendela kamar bersama Jung. Ia tidak sedang gila, depresi, atau semacamnya. Arshel adalah Arshel yang normal namun, dengan perspektif yang berbeda. Dirinya berbeda dengan Hera yang kemanapun harus mencari sebuah kampus, Fitri sudah mempersiapkan matang-matang masa depan Arshel, mendaftarkan anaknya itu duluan hingga jadilah Arshel sekarang yang santai.
Ngeong!
Arshel terus mengelus bulu halus Jung. Kucing itu mendekap tidur di atas lipatan kaki tuannya, meliuk manja seperti hendak meminta elusan, sesekali bermain dengan jari tangan Arshel untuk menghibur tuannya.
"Kapan, sih, lo bisa jadi manusia," gumam Arshel sembari tersenyum tipis.
"Seandainya gue jadi kucing." Tatapan Arshel menoleh ke arah jendela luar, mendongak menatap langit sambil terus saja tersenyum. "Gue bakal jalan ke tempat paling sepi tanpa berpikir akan ada bahaya nantinya, gue akan cari seorang tuan yang bisa buat gue bahagia dan ngelupain masa lalu gue."
Ngeong!
Segera Arshel mengerling pada Jung yang kini tengah menatap kedua bola matanya sembari terus mengeong. Ia mengernyit. "Emang enggak bisa?"
"Iya juga, sih ... Nggak mungkin gue bakalan jadi kucing," gerutu Arshel seraya menunduk murung.
Beberapa detik kemudian, entah kenapa tiba-tiba benaknya teringat pada sebuah surat dari Zia yang pernah Danu berikan. Ia hampir saja melupakan benda berharganya itu. Yap, sedari dulu ia sudah menantikan terbukanya surat itu, yah, walaupun belum tahu pasti kapan waktu yang tepat untuk membukanya. Namun, saat ini Arshel yakin bahwa pada keadaan seperti inilah surat itu dibuat, hahah, Arshel hanya mengandalkan keyakinannya saja.
Arshel menatap Jung kembali, sembari mengingat di mana surat itu tersimpan. Ia berdiri setelah mengetahui keberadaan suratnya. Berjalan menuju nakas putih di samping ranjang.
Sebentar. Ada apa ini? Tiba-tiba saja Arshel merasa dunia berputar kencang, pandangannya seolah-olah kabur karena tak mau menuruti langkah. Sampai di depan nakas, ia berjongkok di sana, memegangi pelipisnya sembari menunduk sebab rasa pusing itu baru saja muncul. Oh, ayolah, Arshel tak mau kenapa-kenapa sekarang. Ia segera menggeleng cepat, menampik segala lara dalam dirinya, tangannya mencoba membuka nakas itu kemudian mengambil sebuah amplop putih di sana. Ia duduk di atas lantai, bersender di depan nakas, kemudian mulai membuka amplop itu.
Ia berkedip beberapa saat. Mulai membuka amplop polos tersebut dan terpampanglah sebuah kertas dengan penuh tulisan di atasnya. Arshel menelan ludah saat hendak membaca isi surat itu. Jantungnya sedikit meracuh tak kala otaknya menunjukkan suatu pikiran buruk yang mengacu pada Zia yang pergi. Ia segera memfokuskan kedua matanya untuk membaca.
__________
Arshel Sadhewa
Aku kira aku bahagia ketika kamu mulai dekat dengan seseorang, aku pikir ini adalah jalan yang terbaik, semua yang kukorbankan, perasaan sakit hati, menyembunyikan kecewa ... ternyata lukanya masih cukup parah.
Aku dikekelilingi rasa kecewa saat ini, aku takut ketika kamu berpikir bahwa ada perempuan lain yang lebih membutuhkan kamu, aku di sini Arshel, aku menahan rasa sakit ini sendirian, aku hampir mati, apa itu masih belum cukup untuk menjelaskan bahwa aku butuh kamu? Aku khawatir kamu pergi, tapi memang begitulah kenyataannya.
Tolong Arshel, aku ingin keluar dari masalah ini, aku ingin bahagia, aku mau sembuh, aku mau menjadi seorang yang berharga lagi di mata kamu. Jauh aku berjalan bersama kamu, tapi kenapa rasanya hanya aku yang menapak di atas serpihan kaca? Sakit, benar-benar perih di setiap waktu, dan mana mungkin kamu akan merasakan itu?
Setelah aku tiada, aku harap kamu akan lebih bahagia, kamu akan senang sebab beban kamu akan berkurang, kamu akan tersenyum lebar karena tak ada lagi aku yang menyusahkan. Aku tahu ketika kamu membaca ini, hati kamu masih terlampau remuk, perasaan kamu sudah terbendung akan ketidakterimaan. Tapi lupakan saja, semua ini tidak akan lama, kamu akan melupakanku dan bilang kalau semuanya berakhir, dan aku akan pergi dengan tenang.
Terima kasih Arshel, terima kasih banyak kamu sudah mau merelakanku bahkan sebelum aku tiada.
Aku pergi dulu, maaf, kali ini aku tak akan kembali.
__________
Setelah selesai membaca seluruh isi surat itu, impulsif tangannya meremas kertas yang digenggamnya tersebut. Ia membuang kertas itu begitu saja. Tidak ada tangis yang tiba-tiba merebah pecah di antara kesedihan lagi, Arshel sudah lelah. Kepalanya ikut bersender, terpejam, mengembalikan napasnya yang baru saja menderu hebat, dan pada saat itu pula pusing berlebihan pada keningnya terasa memberatkan. Ia baru teringat jika dirinya belum makan selama tiga hari ini, dan anehnya ia juga sama sekali tidak merasa lapar. Sepanjang hari Arshel menghabiskan waktunya hanya dengan menikmati pemandangan jendela dan pergi keluar dari kamar untuk minum obat antidepresan. Ah, sial.
Karena rasa pusingnya sudah terlampau memberatkan, Arshel putuskan untuk tidur sejenak. Menikmati sedikitnya ruang yang dapat ia temui di dalam kamar, menggunakan waktu berharganya untuk beristirahat sebelum hari pertama kuliahnya semakin dekat. Memikirkan tentang Zia, sama sekali hanya membuatnya tak pernah lepas dari belenggu kesedihan.
"Selamat tinggal ... Zia, aku senang kamu nggak menderita lagi di sini."
***
Semuanya sudah beres. Hera selesai menata kamar Arshel sampai terlihat 180 derajat lebih rapi dari kamar Arshel sebelumnya. Sekarang, ia tengah membawa sebuah mangkuk kaca berisi air hangat di tangan kanannya. Ia berhenti di depan tempat Arshel, menaruh mangkuk itu sedikit jauh dari sampingnya. Tapi tunggu sebentar, sekilas Hera melihat sebuah kertas yang sepertinya lupa untuk dibuangnya. Ia mengambil kertas tersebut.