Satu tahun kemudian.
"Pagi, Arshel," sapa Hera segera menerbitkan segurat senyum manis. Ia berjalan ke dalam lingkungan rumah Arshel. Menghampiri laki-laki yang tengah sibuk memanaskan mesin motornya itu. Setiap pagi, saat Hera hendak berangkat menuju kampus, ia selalu nebeng di atas motor Arshel, bukan maunya tentu, semakin lama menjadi kebiasaan dan yah, tentu takdir yang merencanakan mereka satu kampus tanpa sepengetahuan siapapun.
"Pagi, Hera," balas Arshel seraya menyodorkan sebuah helm bogo pada gadis cantik dengan rambut terurai serta overall jeans yang dipakainya. Ia lebih melebarkan senyum tak kala Arshel malah membiarkan kedua tangannya memakaikan helm itu pada kepala Hera.
Arshel segera menaiki motornya, diikuti dengan Hera yang sekarang sudah stay di belakang punggung Arshel seraya menyentuh kedua sisi pinggang laki-laki itu. Tidak ada pelukan atau apapun, mereka hanya teman, pasti semua orang ingat itu.
"Siap?" Arshel mulai menekan gas.
"Siap!" Pekik Hera begitu semangat. Pagi yang indah bersama seseorang yang sungguh sangat istimewa bagi Hera. Mereka menaiki motor bersama, menikmati pemandangan kota yang selalu ramai dan sering macet. Arshel dan Hera menggunakan kesempatan itu untuk bercanda, tersenyum ria bagaikan dunia hanya menyisakan mereka berdua.
"Akhirnya, hari ini akan seindah hari kemarin."
***
Satu tahun yang lalu.
Hera berjalan santai bersama Arshel, mengelilingi sekitar kampus untuk mengingat tempat mana saja yang barangkali penting untuk mereka kunjungi. Banyak siratan-siratan kekaguman di mata Hera saat pertama kali melihat kampus impiannya yang tak di sangka mau menerimanya dengan senang hati. Kampus nomor satu di kota dengan jalur masuk yang tidak gampang, keberuntungan selalu memihak pada Hera tentu.
"Kenapa lo milih di sini?" Tanya Arshel heran. Kedua tangannya bertaut di belakang punggung sembari melihat sekitar.
Hera menggidikan bahu. "Karena kampus ini udah ada saat mamah aku jadi mahasiswa, dan berhubung mamah juga nggak bisa masuk ke kampus ini, jadi aku yang disuruh buat mewujudkan itu."
Arshel mengangguk-angguk paham. Ia terhenti kemudian menoleh menatap Hera. Gadis itu ikut berhenti sembari mengernyit kebingungan.
"Ada apa?" Tanya Hera.
Arshel menggeleng pelan, tersenyum tipis kemudian memajukan langkahnya mendekat pada Hera. "Hidup emang tentang berjuang keras, mereka yang kelihatannya tenang, hanya karena berjuang diam-diam untuk mendapatkan yang terbaik, iya, 'kan?"
Hera seketika mengulas senyum tipisnya. Mengangguk pelan sembari ikut menautkan tangan di belakang punggung.
"Usaha enggak akan mengkhianati hasil," tutur Hera.
"Arshel!" Ruah seorang laki-laki jauh dari arah samping Arshel. Sekilas saat Arshel mendengar ruahan itu, kepalanya tergerak menoleh sebab familiar terhadap gaya bicara orang tersebut.
Sontak Arshel mengernyit tidak percaya ketika mengetahui siapa laki-laki itu. Tubuhnya kembali menghadap depan, saat laki-laki itu berjalan menghampiri mereka. Arshel menatap orang itu bersama mata tajamnya.
Begitu pula dengan Hera, ia terlihat lebih terkejut karena tak menyangka akan bertemu dengan orang yang sempat menyusahkannya itu. Hera meneguk ludah berat tak kala laki-laki badung itu berhenti di depan Arshel. Seorang laki-laki dengan ransel hitam pada pundak kanannya, memakai setelan casual dengan rambut ala badboy yang sampai sekarang menjadi sebuah ciri khas. Arshel hanya tidak menyangka saja, kampus yang menarik mau menerima seorang calon mahasiswa seburuk ini.
"Ternyata kalian juga kuliah di sini ..." Lirih Rio gugup. Pandangannya menatap Arshel begitu ketakutan.
"Gue minta maaf sama lo," pinta Rio sembari menunduk, tak tahan akan tatapan tajam Arshel. Tangan kanannya meremas lengan tas dengan tangan satunya memegang tengkuk gugup. "Atas kelakuan gue selama ini."
Arshel semakin mengernyit kebingungan. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Apa sebenarnya rencana Rio sampai-sampai menggunakan kata maaf dalam mulutnya? Bukannya Arshel mengarah pada sudut pandang baik terhadap Rio namun, ia malah terlampau curiga akan ucapan laki-laki menjengkelkan itu barusan. Sudah terlampau banyak penderitaan yang diberikan Rio padanya, pantas jika Arshel harus berpikir dua kali tentang ini.
"Lo becanda?" Tampik Arshel tanpa ekspresi.
Rio menggeleng pelan. "Gue nggak suka becanda soal ini."
"Gue tahu lo hampir kehilangan semuanya, dan gue juga salah satu penyebab itu. Bego karena gue baru nyadar semenjak lo kehilangan Zia, gue bener-bener minta maaf sama lo." Rio mendongak memandang Arshel dengan raut murung. "Terserah lo mau tetap benci sama gue bahkan sampai seumur hidup, tapi gue mohon terima maaf gue."
Arshel menunduk, memutar otak karena sempat tak memahami dan tak mau paham apa yang Rio ucapkan. Ia menghela napas berat, kemudian menoleh pada Hera yang kini hanya dapat memandang Arshel balik dengan wajah bingungnya. "Lebih baik lo minta maaf sama Hera, gue nggak ada apa-apanya dibanding dengan yang lo lakuin sama dia."
Rio seketika beralih memandang Hera. Gadis itu menatap Rio begitu ketakutan bersama senyum kikuknya. "Gimana? Lo mau maafin gue?"
"I-iya, tentunya aku mau maafin," balas Hera benar-benar gugup. Ia menatap pada Rio juga Arshel. Entah dari kapan tiba-tiba saja suasana menjadi sangat canggung dan memalukan. "Manusia nggak ada yang bisa benar selamanya, kan? Ng-nggak apa-apa."
"Lo yakin?" Rio masih saja meragukan ucapan Hera. Maksud Rio, masih adakah orang yang mau dengan mudahnya memaafkan seseorang? Kesalahan Rio sudah benar-benar sulit untuk dimaafkan, jadi ia tidak begitu yakin akan ini. "L-lo ... Lo ... Lo bisa suruh gue buat lakuin apapun kok, gue mau turutin apa mau lo, atau gue harus terima hukuman, lo boleh pukul gue—"