Mereka berdua, Arshel dan Hera, setelah capai dengan kesibukan bermain air di tengah sungai, akhirnya mereka putuskan untuk berhenti dan beristirahat di bawah sebuah pohon lebat, di atas pinggiran sungai sembari menatap air sungai yang mengalir tenang di depan mereka. Langit hampir menampakkan jingganya sedangkan kedua hati itu masih saja saling terdiam menikmati panorama. Jarak yang tak begitu dekat, namun tak dapat dikatakan berjauhan.
"Gue nggak sendirian, gue tinggal sama nyokap gue, tapi dia cuma pulang sebulan dua kali atau bahkan cuma sekali, nyokap gue juga gila kerja, tapi itu malah bikin gue seneng," singkap Arshel menanggapi pertanyaan Hera baru saja terlontarkan. Tatapannya tetap lurus ke depan.
Hera mengangguk, kemudian menunduk. "Kenapa? Bukannya jarang ketemu keluarga itu nggak enak?"
"Emang, sih, yaaah, se-enggaknya ... Nyokap gue bisa ngelupain semua masa lalunya karena dia sibuk sendiri, gue nggak tega saat lihat nyokap gue nangis, cuma gara-gara bokap," balas Arshel sedikit melirih.
Segera Hera menuntun kepalanya untuk menoleh pada Arshel. Pikiran Hera tiba-tiba terarah pada ucapan tentang 'bokap' itu. Tapi bagaimanapun, Hera tetap tak mau bertanya duluan, takutnya malah disangka ikut campur.
Seketika Arshel menunduk, menghela napas panjang saat terpaksa harus mengingat tentang memori masa lalunya. "Gue nggak mau bahas soal bokap gue."
Hera mengangguk kecil, ia ikut menunduk. Sepertinya memang berat untuk Arshel ketika hendak berucap tentang 'bokap' itu, dan Hera menerka bahwa Arshel memiliki suatu ketakutan yang berat di masa lalu. Yah, lagak Arshel sungguh mendefinisikan semuanya.
"Gue pernah punya kakak," celoteh Arshel.
"Oh, iya?" Hera kembali menoleh pada Arshel, raut khawatirnya tiba-tiba bangkit. Kakak? Bahkan Hera malah berpikir kalau Arshel hanyalah anak satu-satunya.
Arshel mengangguk santai. "Wajar kalau lo nggak pernah liat kakak gue."
"Dari dulu, gue dan kakak gue selalu diajarin untuk jadi orang baik, walau seburuk apa diri gue di mata banyak orang," ucap Arshel. "Kata nyokap, gue dan kakak gue itu beda ... Beda dari segi sifat, sikap, dan pergaulannya, gue rasa itu benar. Gue yang lebih cupu dan kakak gue terkenal nakal di sekolahnya."
Hera tetap fokus mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulut Arshel.
"Nakalnya ... kayak Danu?" Tanya Hera.
Arshel mengangguk. "Danu nggak ada apa-apanya."
Hera ikut mengangguk, sedikit terkejut pula.
"Jujur, gue iri banget sama dia, dia itu pinter, jago basket, anak emas di sekolah, temen-temennya seru, nggak pernah takut sama siapapun." Arshel tersenyum tipis. "Gue kira dia juga bakalan berani sama gue, tapi kenyataannya ... Dia itu kakak yang paling baik."
Hera ikut tersenyum. Beruntung betul Arshel bisa mendapatkan seseorang yang sepengertian itu. Setidaknya, Hera semakin tahu, Arshel memang dari keluarga yang baik-baik—dalam hal mendidik.
"Kakak gue udah meninggal waktu gue masih SMP, dan dia baru aja lulus SMA, kira-kira sekarang udah enam tahunnya kakak gue nggak ada," tutur Arshel begitu pilu. Sorot matanya beralih memandangi langit. "Semua itu gara-gara bokap gue."
Segera Hera muluruhkan senyum. Tangannua impulsif tergerak mengelus pundak Arshel agar lekas tenang. Merasakan, memahami, dan mengambil pelajaran dari masa lalu, yah, aalah satu pelajaran paling berharga dalam kehidupan adalah kehilangan dan putus asa. Semua orang mengerti, bahwa sebuah masa lalu hanya akan menerkam ketika kita memilih menyerah sebab terjebak, dan itu mengerikan.
"Namanya Sandy, kakak gue yang paling berharga, bahkan kayaknya lebih berharga daripada siapapun. Dia mau aja ngelakuin apapun untuk bisa bikin gue bahagia, semua orang pasti iri kalau dengar betapa baiknya Sandy." Arshel menunduk kembali. Mengingat tentang memori-memori kelam bersama kakaknya itu, membuat sekujur tubuh Arshel terlampau panas dingin sebab khawatir tak akan dapat menahan kesedihannya.
"Sandy terlalu baik, sampai dia mau aja ngorbanin ngawanya untuk gue," imbuh Arshel. Nada bicaranya menunjukkan betapa menderitanya ia. Manik mata Arshel berkaca-kaca namun, ia masih menegaskan hatinya untuk tetap tegar dan kuat.
"Ngorbanin nyawa?" Hera membeliak terkejut. Apa maksudnya? Hera benar-benar dibuat kebingungan.
Arshel menoleh pada Hera menunjukkan ekspresi bersedih. "Sorry, sampai sini aja gue bahas tentang masa lalu gue, ya? Gue nggak mau jawab apapun."
Hera mengangguk gugup.
"Iya, aku paham, kok." Hera mengganti kegugupannya dengan senguman hangat. Giliran Hera menatap depan, melepas tangannya dari pundak Arshel masih pada senyum ceria itu.
"Langit adalah adil, dan tidak ada orang yang dikecualikan. Yang bisa menolong dirimu adalah dirimu sendiri," tutur Hera. Menikmati indahnya pemandangan sekitar, dapat melihat matahari yang hendak tenggelam, tak ada sedikitpun pencemaran udara yang biasa Hera temui seperti di jalanan besar. Sungguh nikmat Tuhan yang langka.
Arshel tertawa lebar, dirinya ikut menatap sungai tenang di depannya. "Keknya gue pernah denger kata-kata itu."