ARSHERA

Ayu Setya Rini
Chapter #52

BAGIAN KELIMAPULUH SATU : ENDING

"Gue harus bisa dapetin hatinya, harus sekarang."

Laki-laki tampan itu sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang tuan putri. Ia terlihat begitu berkharisma dengan jaket hitam, rambut rapi, juga bau parfum manly membuat siapa saja akan merasa kagum terpikat wanginya. Ia berdiri di depan kaca sembari menatap wajahnya sendiri kemudian tersenyum tipis.

"Udah ganteng belom, sih?" gumamnya tak kalah percaya diri. Kedua tangannya sibuk sendiri merapikan rambut, bahkan sampai tak menyadari akan waktu yang terus berjalan. "Ah, nggak bisa, nih."

"Seganteng apapun gue ... Tetep aja yang namanya takut nggak bakalan luluh," lirih Arshel sedikit cemberut.

Setelah selesai dengan aktivitas membanggakan diri itu, akhirnya ia melihat ke arah jam dinding. Bagus, 15 menit lagi gadisnya akan menuju ke Kafe biasa mereka datangi. Ia kembali mengembangkan senyum lebar sebab sekarang, ia harus memutuskan untuk memulai hubungan yang baik terhadap seseorang, membuka lembaran baru, dan menikmati kenyamanannya kembali, yah, walau tahu tidak akan semudah yang Arshel ekspektasikan.

Tak sabar. Arshel telah menyiapkan suatu hadiah spesial yang ditujukan untuk gadisnya nanti, termasuk parasnya yang sudah tampan ini. Ia begitu gugup sebenarnya, ketika yang dia hadapi kali ini adalah seorang teman, teman yang masih berada di ambang perasaan. Entah bagaimana jadinya namun, Arshel tetap percaya bahwa segalanya akan berjalan normal.

"Gue pasti bisa."

***

Begitu pula dengan Hera, semua orang pasti tahu kenapa dirinya bisa berdandan secantik bidadari hari ini. Yap, tidak lain adalah hendak menemui seorang pangeran. Rambut halusnya semakin lembut mengalahkan kain sutra, mata indahnya tak kalah memikat, bibir berlapis natural bak buah peach, setelan casual yang ia kenakan menambah kesan cantiknya. Hera bagaikan paling sempurna, dan kini yang ia butuhkan hanyalah keberanian untuk menatap sang pangerannya beberapa menit lagi.

Ia menyeruput secangkir kopi. Memandang pemandangan luar Kafe, tempat biasa anak muda nongkrong di kotanya. Sesekali menyiahkan rambut ke belakang telinga. Kedua kakinya tak dapat berhenti berayun, entah kenapa suasana menakutkan kian menjadi setelah melihat meja-meja Kafe yang hampir terpenuhi lautan manusia itu.

"Hera," sapa Arshel yang baru saja datang. Ia tersenyum lebar setelah Hera menoleh padanya, kemudian duduk di depan gadis cantik itu. Tatapannya seketika terkunci pada sorot mata Hera, terpesona? Hahah, mungkin, dan Arshel benar-benar tidak berkedip saking indahnya pemandangan ini.

"Gue takut salah orang," cetus Arshel seraya mengelus tengkuk, senyumnya berubah kikuk karena tak tahan dengan mata bulan gadis itu.

"Kenapa?" Hera melebarkan senyum.

Arshel menggidikan bahu sedikit salah tingkah. Manik matanya beralih memandang menu di atas meja. Ia mengambil menu tersebut dan membacanya alih-alih untuk menghindari kontak mata dengan Hera. "Yang gue lihat bidadari."

"Apaan, sih, gombalannya bapak-bapak dipake." Hera terkekeh, menunduk, menyembunyikan wajah merahnya dan ... intinya jangan sampai ada yang menyadari itu. Ia berdehem segera, mendongak kembali seraya menatap jalanan di luar.

Arshel tertawa kecil.

Suasana canggung pun mulai ikut campur. Arshel menatap Hera perlahan tanpa gadis itu sadari, ia tersenyum tipis ketika sungguh begitu kagum dengan paras cantik Hera hari ini. Tangannya menutup menu, menaruhnya di atas meja kembali, menopang dagu seraya mendekat pada Hera. Tatapan Arshel masih saja terkunci pada raut indah itu.

"Gue mau mulai," gumam Arshel hingga membuat Hera menoleh padanya. Gadis itu terkejut karena wajah Arshel yang semakin dekat. Perlahan ia pun memundurkan kepala sembari berkedip cemas.

"Mulai ... Apa?" Hera kebingungan.

"Mulai cari masalah," balas Arshel seketika melunturkan senyum. "Masa gue harus jelasin, sih?"

Hera mengernyit heran. "Ha?"

Arshel menghela napas panjang. Ia memutar bola mata jengkel karena tingkah polos Hera. Menjauhkan kepala dari hadapan Hera dan duduk normal kembali. Kedua tangan Arshel terlipat di depan dada seraya menatap Hera malas. Demi apapun dalam relung hatinya tertancap banyak kekhawatiran yang sampai sekarang masih memberatkan untuk sekadar berucap. Degup jantung Arshel meracuh tak karuan namun, ia tetap bertingkah santai seperti semua baik-baik saja.

"Lo harus jadi pacar gue, Hera." ucap Arshel benar-benar menaikan voice speed-nya menjadi 1,5. Jari-jari kaki Arhsel bergetar gugup kala mendapati Hera yang semakin bingung. Begitu pula dengan Arshel, ini memang bukan pertama kali Arshel melakukan hal gila itu namun, untuk pertama kalinya Arshel menemukan suasana secanggung ini.

"Kamu ngomong apa, sih, Arshel?" Hera memalingkan kepala, kembali menatap jendela seraya menggerutu. Raut wajahnya berubah kesal ketika mendengar ucapan Arshel yang terdengar semu. "Jangan becanda, ah."

Arshel kembali menghela napas panjang. Ia mengudarkan lipatan tangannya, kembali menopang dagu di depan Hera sembari menatap gadis itu bersama ekspresi serius. "Lihat gue, deh."

Hera hanya mengerling, menemukan wajah Arshel yang lagi-lagi sedang terdiam tidak jelas di depannya.

"Sini, gue mau ngomong." Tangan kanan Arshel mengisyaratkan Hera untuk mendekat. Gadis itu pun menuruti. Ikut menopang dagu sembari mengangkat kedua alis bingung. Arshel mendekatkan mulutnya ke arah telinga Hera, ia tersenyum tipis hendak melontarkan sebuah ucapan. "Gue tahu ini sedikit terlambat, karena emang susah ngungkapin perasaan ke teman sendiri, tapi ...."

"Kalu lo mau jadi pacar gue ... Ini nggak bakal jadi terlambat."

Hera mengernyit tak percaya. "Buat apa? Kamu aja nggak pernah bilang suka."

Arshel menghela napas singkat. "Banyak banget kata yang pengen gue ucapin hari ini sama lo, karena gue udah duga hari ini adalah hari yang spesial, tapi ada satu kalimat yang bikin gue gugup setengah mati ...."

"Gue."

"Cinta."

"Hera."

"Nggak ada alasan kenapa dan atas dasar apa, yang pasti gue pengen lo ikut bahagia dan hindarin lo dari semua luka sepanjang waktu."

Segera Hera menjauhkan telinganya pada Arshel. Menatap laki-laki itu heran dan malah dibalas dengan senyuman maut tampannya. Tak tahan lagi, segurat senyum salah tingkah pun terlukis di wajah Hera. Ia kembali pada posisinya, duduk dengan tenang sembari menghela napas sekejap. Apa itu? Sebuah prank, kah? Apa di sekitar Kafe ada sebuah kamera tersembunyi kali saja benar Arshel tengah mengikuti acara prank? Jika salah, Hera harap Arshel benar-benar serius mengatakannya.

"Gue emang nggak pernah bilang suka ... tapi seharusnya lo peka," tutur Arshel sembari ikut menormalkan posisi duduknya. Ia tersenyum, dan tetap tersenyum. Tentu saja hal itu membuat Hera bagaikan terbang di atas langit sampai mustahil untuk terjatuh.

Namun, seketika saja Hera melunturkan senyumnya, ia teringat akan sebuah rencana atau keinginan dari seorang Zia pada mereka berdua. Hera sedikit khawatir jika Arshel mengatakan itu hanya karena mau menuruti apa yang Zia inginkan. Terlebih ... Apakah Arshel sudah melupakan Zia? Ah, jika hal itu ... Sepertinya memang tidak mungkin.

"Aku nggak bisa." Hera menggeleng sembari menunduk.

"Ha? Kenapa?" Tanya Arshel kecewa.

"Aku takut kamu melakukan ini hanya karena kemauan Zia," balas Hera merasa bersedih.

Lihat selengkapnya