"Hera! Arshel dateng, nih! Berhenti nangisnya!" Ruah Anjani yang kini tengah sibuk membawa sebuah selang hendak menyirami taman depan.
TIIN TIIN!
Suara klakson sebuah motor ninja itu terdengar nyaring sampai ke dalam rumah Hera. Ia berhenti di depan garasi. Arshel, atau bisa disebut pacar Hera, dirinya tengah duduk di atas motor dengan pakaian yang sudah rapi dan lengkap, hoodie hitam yang dikenakan serta jeans dan sepatu kets coklat, benar-benar menunjukkan kaum milenial yang sebenarnya. Ia mengeratkan tas ranselnya kala mendapati Hera yang tak kunjung keluar.
"Hera nangis, Tan?" Tanya Arshel kemudian bangkit dari motor sembari melepas helm. Wajah khawatir itu terlukis jelas hingga Anjani menoleh padanya. Arshel segera mencium tangan Anjani bermaksud untuk bersalaman.
"Iya, katanya barangnya ada yang ilang, udah semaleman dia cari nggak ketemu-ketemu," dalih Anjani. Tangan kiri Anjani masih saja sibuk menyirami bunga-bunga yang hampir layu, sedangkan kepalanya fokus terhadap Arshel. "Tante mau bantu cari eh malah dimarahin."
Arshel mengangguk-angguk.
"Udah sana samperin, kali aja dia bisa tenang kalau ada kamu," imbuh Anjani kemudian melanjutkan aktivitas siram-menyiram kembali.
Arshel hanya mau mengangguk. Tanpa basa-basi lagi, ia segera masuk ke dalam rumah dengan sedikit melamban, tidak enak juga rasanya bertamu ke rumah orang yang sedang badmood, suasana rumah jadi ikut suram. Entah kenapa pula ia bisa jadi se-khawatir kucing yang kehilangan ekornya. Arshel melihat sekitar, mencari di mana keberadaan Hera.
"Hera!" Pekik Arshel.
"Hera lo di mana, sih?" Pekik Arshel hampir kesal.
"Di mana ya ... Perasaan aku taruh di sini ..."
Seketika pandangan Arshel tertuju ke arah pintu dengan sebuah aksesoris papan berbentuk bunga bertuliskan 'HERA' di depannya. Ia menelan ludah kasar saat benaknya harus menekankan bahwa Hera sedang berada di dalam sana. Arshel berjalan menghampiri pintu itu, tangan kanannya segera memegang kenop, dan CKLEK! Terbukalah pintu kamar Hera.
"Nggak! Nggak! Bukan di sini .... Aduh di mana, ya? Aku tetep lupa."
Arshel masuk ke dalam kamar Hera begitu santai. Ia menghela napas gusar saat mendapati kekasihnya itu malah mondar-mandir tidak jelas di depannya, sesekali membuka-buka lemari, nakas, bahkan buku-buku di atas meja belajar sudah tak bisa dikatakan rapi lagi.
"Lo ngapain? Nggak ke kampus?" Tanya Arshel heran. Sorot matanya menyertai langkah cepat Hera.
Hera menoleh pada Arshel dengan memamerkan mata bengkaknya akibat menangis berjam-jam. Kedua tangan Hera sibuk membuat berantakan lemari. Rambut acak-acakan seperti tak acuh terhadap dirinya sendiri, bibir pucat menunjukkan sebuah ketakutan. Perasaannya tak dapat tenang sebelum barang yang sedang dicarinya itu sudah ketemu. "Aku lagi cari sesuatu, Arshel, kamu nggak lihat? Bentar lagi aku siap-siap."
"Jadi lo belum mandi?" Tanya Arshel sebal. Apa gunanya ia datang pagi-pagi jika yang ditunggu saja masih belum apa-apa.
Hera menggeleng. Pandangannya kembali disibukkan mencari sesuatu itu.
Lagi-lagi Arhsel menghela napas panjang. Ia berjalan menuju ranjang Hera, duduk di sana sembari basa-basi membaca sebuah novel yang sengaja di letakkan di atas ranjang. Novel horor kesayangan Hera lebih tepatnya, dan sontak membuat Arshel membeliak tanpa suara, segera mengembalikan buku itu sebab dilihat dari sampulnya saja sudah cukup mengerikan. Tidak bisa, Arshel masih cukup labil jika harus berhubungan tentang dunia perhantuan.
"Cewek bego, suka banget sama Pak Ucung," gerutu Arshel sembari mengelus dada. Pak Ucung, nama lain dari sosok pocong, yah, mengganti nama asli dengan sebuah sebutan aneh untuk sosok hantu, bagi Arhsel lebih melegakan dibanding dengan menyebut namanya langsung.
"Lo lagi cari apa, sih?" Tanya Arhsel masih heran. Kepala Arshel mengikuti pergerakan Hera yang kini tengah berjalan di depannya. Ia berdiri, bermaksud untuk menghampiri Hera dan menghentikan drama bodoh ini.
"Cari topi," balas Hera singkat. Kedua tangannya giliran sibuk membuka nakas.
"Topi apa?" Arshel yang baru saja berdiri di belakang Hera, kini mengernyit kebingungan.
"Topi punya kamu itu." Hera berjalan kembali menuju meja belajar, bahkan buku-buku yang sudah dua kali ditengoknya itu masih saja ditelisik, untuk memastikan pikirnya.
Arshel lebih mengernyit. Topi? Topi apa ... Oh! maksud Hera topi yang dulu sempat Arshel berikan pada Hera di taman? Bahkan Arshel saja sempat lupa karena sudah beberapa tahun lalu. Seketika guratan senyum di bibir laki-laki itu terpancar jelas, ternyata hanya karena topinya itu Hera bisa sampai segila ini.
"Kenapa harus dicari sampai segitunya? Kalau nggak ketemu ya udah kali," ucap Arshel mengembalikan lagak santainya.
Sontak Hera menghentikan kedua tangan untuk beraktivitas dan menoleh pada Arshel. Ekspresi Hera berubah serius. Apa-apaan, seharusnya Arshel tak bisa menganggap sesuatu dengan remeh, apalagi tentang topi itu, benda itu benar-benar berharga bagi Hera sebab memori tentang Hera dan Arshel tertuang jelas saat memandang topi itu.
"Topi itu berharga buat aku, Arshel," jawab Hera sembari mengerucutkan bibir.
"Seberapa berharganya?" Arshel selangkah mendekati Hera, melemparkan senyum tipis ke arah gadisnya.
Hera menggeleng kemudian mengangguk, mengusap air mata yang baru saja jatuh. "Berharga banget ...."
Arshel tersenyum lebar. Tangan kanannya segera meraih pergelangan tangan Hera, mendekap gadis malang tersebut kemudian mengelus rambut belakangnya dengan lembut. Sedangkan Hera, ia malah menangis lirih di depan dada Arshel tanpa berniat untuk membalas peluk. Sakit yang dirasakan saat tak dapat menjaga sesuatu yang berharga dalam hidupnya.
"Topi itu lebih berharga dari gue, ya?" Tanya Arshel lirih.
Hera menggeleng kecil.
"Kalau lo kehilangan gue, lo bisa lebih gila dari ini, dong?" Cetus Arshel berniat menggoda.
Spontan tangan kanan Hera menepuk keras punggung Arshel sebagai bentuk kekesalan.