"Kalau cinta itu adalah sebuah sayap, kenapa harus ada kata jatuh di depannya? Dan jika hati itu lunak, kenapa harus ada kata patah di depannya?"
-Hera Alagna-
|~•~•~•~•~|
3 tahun kemudian.
"Kupikir, seiring berjalannya waktu, aku akan merasa lebih baik, tapi ternyata ... malah semakin buruk."
Seorang gadis yang putus asa, sedang berniat untuk mengakhiri penderitaannya namun masih bimbang akan adanya sebuah harapan. Menatap langit gelap, panorama taman yang indah di sekitarnya, sesekali membuat gadis itu bersyukur dapat melihat keindahan yang menenangkan.
"Aku bertahan karena takut diriku tak berguna, tapi ini sudah berapa tahun? Semuanya masih sama."
Rambut panjang terurai menerpa angin, senyum di bibir keringnya seperti memaksa untuk bahagia, binar mata hitam yang berkaca-kaca serta bulu mata renggang namun rapi. Sweater putih berpola garis juga celana jeans panjang yang ia kenakan, sama sekali tak membuat tubuhnya senantiasa hangat. Ia tengah berjalan santai sembari iseng memainkan langkah layaknya anak kecil.
"Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku tersenyum bahagia."
Suhu dingin sebab angin malam mulai menyelimuti sekujur tubuh sedangkan ia sengaja meninggalkan jaketnya di atas sofa. Seperti sudah terbiasa sampai dingin pun terasa menghangatkan. Semakin hening. Kelap-kelip bintang serta sang rembulan senantiasa memenuhi pandangannya di setiap langkah.
"Semua orang buruk saat mereka berbuat baik, semua orang bersedih ketika mereka tersenyum, semua orang menangis saat mereka tertawa, itu yang kupikirkan selama ini. Mungkin akan selamanya seperti itu, dan jika aku tak menghentikannya, entah akan bagaima—"
DUG!
"Aduh mati! Eh!" kaget gadis itu. Kaki jenjangnya spontan terpental kecil saat mengetahui sedang ada sebuah batu yang menghalangi langkah. Menyebalkan. Padahal suasana sedang damai, pake kesandung segala, pikirnya. "Padahal lagi enak-enaknya ...."
SREK! SREK!
Ia mendadak terpatung, kepalanya menoleh ke samping kiri, melihat ada sesuatu yang bergerak di dalam sebuah semak-semak, tak jauh dari sampingnya.
"E ... Ada orang, ya?"
Tak ada jawaban sama sekali. Bahkan hanya suara nyaring jangkrik yang terdengar. Seketika gadis itu menelan ludah berat, degup jantungnya tak berhenti berdetak hebat. Bukan apa-apa, hanya saja, malam-malam begini tidak biasanya ia mendapati hal-hal aneh di luar.
"Kok ... Gerak ...?"
"Emm, setan? Atau hewan? Siluman, kah? Jangan-jangan ..." ucapnya enteng sembari mengerutkan dahi. Ia mendekat perlahan-lahan. Sedikit ragu sebab hanya sendirian, sedangkan rasa ketakutan itu seenak jidat menghampiri. Gadis itu mencoba mendekat ke arah semak-semak, seketika kumpulan pagar daun itu berhenti bergoyang dan—
SREK!
"Eh ayam! Eh, bukan! Itu kucing!"
Tak terpikirkan sama sekali. Seekor kucing kecil menggemaskan, dengan bulu berwarna cream tiba-tiba keluar dari semak-semak tersebut, lagaknya seperti memang berniat untuk mengangetkan. Sontak gadis itu menanap, terjatuh saking terkejutnya. "Aghh."
"Itu beneran kucing ...."
"Apa! Nggak-nggak, aku nggak bisa!" Ia memandang kucing imut tersebut begitu ketakutan, sembari perlahan mundur karena merasa dirinya sedang terancam. Ia tak dapat dihadapkan dengan situasi semacam ini. Sama sekali. Terlihat lebay memang, tapi sudah nasibnya. Kucing itu terlihat sangat lucu namun, sayang gadis itu tak bisa sekalipun menyentuh.
"Haciuuuh!"
"Kaaan." Gadis itu segera menutup hidung, ia berdiri kemudian melangkahkan kakinya untuk segera berbalik. Ia mulai berjalan meninggalkan kucing tersebut sendirian di sana. Namun sayang tak semudah itu, kucing tersebut langsung membuntuti hingga sempat menyentuh sepatu flat coklat yang sedang gadis manis itu pakai.
"Haciuuuh!"
Spontan ia mengibaskan kakinya, dan tanpa sadar jika kali ini ia telah melakukan sebuah kesalahan. "Astaga, aku udah dosa, maaf."
Kucing malang itu terhempas jauh, jika menjadi manusia, ia pasti akan merintih kesakitan. Gadis itu membeliak bersalah, kemudian sorot matanya berganti menjadi siluet kesedihan setelah menatap kucing malang itu sedang berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan ke-empat kakinya.
"M-maaf ... Aku nggak bisa ..." Gumam gadis itu benar-benar menyesal. Ia melangkah kabur kembali. Berlari kecil mungkin bisa lebih mempercepat perjalanannya.
Tak mau mengalah, kucing kecil tersebut kembali bangkit, berlari sampai menghampiri kaki jenjang itu lagi sembari terus menerus mengeong, tidak peduli betapa sakit seluruh tubuhnya.