ARSHERA

Ayu Setya Rini
Chapter #6

BAGIAN KELIMA

"Ada rasa yang sulit untuk dijelaskan namun mudah 'tuk ditebak, kecewa."

-Hera Alagna-

|~•~•~•~•~|

"Permisi." Hera bangkit dari bangkunya, menghadap Arshel sembari menunduk. Sedari tadi ia menggeliat tah tahan menahan kencing, dan di saat pelajaran Pak Richo berlangsung tidak boleh ada yang namanya izin terkecuali dengan adanya surat izin. Yang benar saja jika hanya untuk ke kamar mandi Hera harus membuat sebuah surat izin. Merepotkan.

"Mau kemana?" Tanya Arshel basa-basi, kali saja, siapa tahu gadis itu tengah membutuhkan bantuan.

"Kamar mandi," balas Hera lirih kemudian diangguki oleh lawan bicara bersama raut terkejutnya.

"O-oh, iya-iya, nanti kalau lo butuh bantuan—"

"Nggak mungkin aku butuh bantuan," tampik Hera segera sebab tak tahan lahi menahan kencingnya.

"Maksud gue nanti."

Arshel spontan berdiri, menepi sedikit bermaksud memberi jalan agar Hera dapat keluar. Ternyata dugaannya salah, Hera sama sekali tak membutuhkan bantuan siapapun untuk hal ini. Ia kikuk sendiri sebab sifat sok akrabnya. Dalam lubuk hati terdalam, Arshel benar-benar ingin sekali mencairkan suasana, karena yah, Arshel bukanlah manusia yang mudah untuk diam dan berbicara pada hening seenaknya sendiri.

Hera segera berlari kecil hingga keluar dari kelas tanpa sepatah kata lagi. Ia benar-benar pusing ketika harus terus-terusan menahan rasa malunya setiap saat. Mau bagaimana lagi, seperti inilah Hera dengan beribu sikap tertutupnya. Dan yah, walau mencoba sekeras apapun ia berubah, tetap saja ia tidak kuat dan berujung kembali seperti dirinya sekarang.

"Arshel!" Dua orang laki-laki dengan postur tubuh kecil dan yang satunya sedikit gendut, mereka tengah menghampiri bangku Arshel dengan yang kecil tersenyum tipis sedangkan yang gendut lebih melebarkan senyumnya. Mereka berdua berpakaian seperti anak yang tak memiliki niat sekolah, rambut ala quiff, tidak memakai dasi ataupun ikat pinggang, ekspresi menjengkelkan seperti ingin segera ditampol ketika melihat mereka, dan anehnya ... Mereka semua kompak melakukan itu. Di sekolah baru Arshel memang sedikit berbeda, lebih tepatnya tidak ada peraturan yang benar-benar penting bagi siapapun.

Arshel seketika menoleh menatap dua laki-laki itu, kemudian membalas senyum sembari menghadapkan tubuhnya pada mereka. Ia menebak bahwa dua orang ini hendak berkenalan juga akan menjadi teman sekelas yang akrab tentu. Yah, Arshel cuma menerka-nerka kali saja dugaannya benar, pasalnya dari senyum ramah mereka tersembunyi berbagai penjelasan yang ingin sekali ditebak.

Dua laki-laki itu berhenti tepat di depan bangku Arshel, melipat kedua tangan di depan dada kemudian giliran yang gempal sedang bertolak pinggang seraya mempertahankan senyumnya.

"Gue Agasta, panggil aja Agas, bukan astaga apalagi gas," ucap laki-laki bertubuh kecil itu.

"Gue Bimo!" Imbuh laki-laki bertubuh sedikit gendut itu dengan logat khas orang Jawa. Ia lebih mendekatkan tubuhnya ke arah Arshel, tepat menuju wajah tampan itu. "Dari Surabaya."

Arshel mengangguk-angguk sembari tersenyum tipis, kemudian tatapannya beralih pada Agas. "Lo juga?"

Agas segera menggeleng, sorot matanya menoleh ke luar jendela. "Gue orang sini, rumah gue tinggal jalan 1 kilo dari sekolah."

Arshel mengangguk paham.

"Lo nyaman ...." Sorot mata Agas beralih seperti berusaha menunjuk bangku di sebelah Arshel—bangku Hera—dengan sedikit jejap. "Sama cewek itu?"

Lihat selengkapnya