"Sebuah janji, adalah awal dari kebohongan yang disembunyikan."
-Hera Alagna-
|~•~•~•~•~|
"Hai, Zia," sapa Arshel mengulas senyum kemudian duduk pada kursi Kafe, menaruh gelas cup berisi kopi latte kesukaannya di atas meja.
"Hai, sayang."
Kenzia, atau biasa dipanggil Zia, gadis cantik yang selalu merawat rambut halusnya hingga tak ada seorangpun yang mampu menandingi harum shampo yang ia gunakan. Ia membalas senyum Arshel dengan ramah seraya mengambil secangkir kopi, lalu menyeruputnya dan kembali menatap layar handphone.
"Emm ... Gimana sekolah baru kamu?" Tanya Zia basa-basi sambil mematikan layar handphone, kemudian pandangannya fokus pada Arshel. Bisa dibilang, atau memang, Zia adalah seorang 'Pacar' dari seorang Arshel, yang selalu Arshel cinta dan hanya satu-satunya sampai kapanpun. Pfft, mengerikan. Sifat ramahnya, hangat terhadap setiap orang, supel, baik bahkan pada orang yang tidak ia kenal, Arshel suka Zia saat seperti itu.
Arshel mengangguk-angguk. "Baik-baik aja, semuanya lancar."
"Yang terpenting ... Nggak ada orang kek Rio lagi di sana," imbuh Arshel bahagia sembari menyeruput kopinya.
"Syukur, deh." Zia membalas dengan seutas senyum. Ia mendorong kursinya agar dekat dengan meja, juga agar terasa lebih nyaman ketika berbincang dengan Arshel. Entahlah, ia sungguh merindukan sosok Arshel akhir-akhir ini.
Spontan Arshel tertawa kecil sembari ikut mendorong kursinya mendekati meja. "Kita kurang kerjaan, ya?"
"Ya kamu yang ikut-ikutan," tampik Zia ikut tertawa.
Suasana hangat yang selalu menemani Arshel ketika bersama Zia. Ia benar-benar merindukan sosok gadis cantik itu hingga hampir lupa akan senyuman yang dulu selalu terngiang. Kini perjalanan setahun lebih dua bulan mereka berjalan dengan lancar, tidak ada selisih paham, selalu saling bersabar, dan tentu hal itu mudah dilakukan bagi pasangan yang sudah sama-sama mempunyai kedewasaan. Yah, lebih tepatnya hal seperti itu yang mereka harapkan. Arshel adalah manusia yang suka sekali berpikir berlebihan terhadap gadisnya, juga dengan Zia yang selalu cemburu terhadap hal kecil.
"Tahu nggak." Arshel memandang manik mata indah berpoleskan maskara tipis itu dengan lekat sembari tersenyum, begitu pula dengan Zia yang sepertinya tengah bersusah payah menahan rasa salting-nya.
"Kamu makin cantik," ucap Arshel sepenuh hati. Impulsif tangan kanan Arshel mendekat menuju rambut halus Zia, kemudian mengelusnya, yap, senyum itu tak dapat luntur seperti biasa. Ia sungguh merindukan segala yang ada pada Zia, bahkan suara lembut itu, bau parfum, serta tangan halus yang selalu menggenggamnya di kala bersedih.
Zia tersenyum manis, tampak sekali jika ia tengah salah tingkah berkat ulah Arshel. "Apaan sih, Arshel. Bosen gombalannya itu-itu mulu."
"Aku nggak gombal, kok!" Balas Arshel sembari mendengus kesal. Lagaknya berubah seperti hendak berbicara serius. "Zia itu cantik! Zia itu baik! Zia itu ...."
Arshel terlihat memutar otak. "Kesayangannya Arshel."
"Bucin! Main sama Jung aja sana, kemarin-kemarin kamu bilang Jung juga kesayangan," tampik Zia.
"Berarti kamu kesayangan yang kedua, ya?" Arshel tertawa renyah.
"Iya deh, gapapa." Zia ikut tertawa.
Kini ekspresi Arshel berubah murung setelah pikiran buruknya kembali muncul. Entah kenapa.
"Aku takut kalau misalkan semakin banyak orang yang suka sama kamu," lirih Arshel dengan nada merengek. Senyumnya menyurut seakan memberi isyarat jika ia tidak sedang main-main. "Dan kamu akan lupa sama aku."
"Kamu mulai lagi ...." Lirih Zia.
Zia semakin melebarkan senyum setelah puas mendengar ucapan Arshel barusan. Ia menggeleng, tangannya meraih tangan kanan Arshel yang sedari tadi sibuk mengelus rambut Zia, kemudian menggenggamnya dengan nyaman. Jari-jari tangan yang dirindukan, Zia benar-benar beruntung.