"Tidak usah terburu-buru, pelan-pelan saja asalkan nyaman. Jangan mikir macem-macem, ini soal CINTA."
-Arshel Sadhewa-
|~•~•~•~•~|
CIIT
Sebuah bus berhenti di depan halte tempat Hera menunggu saat ini. Terlihat banyak orang sedang keluar-masuk dari bus secara bergantian. Sedang Hera memilih untuk menunggu memasuki kendaraan panjang itu untuk yang paling akhir. Ia menoleh ke arah jendela bus, sial, ramai sekali.
Hera menghela napas panjang sembari melangkahkan kakinya memasuki bus yang untunglah masih tersisa tempat walau sekadar berdiri. Suasana seramai ini membuat Hera sedikit sesak dan mual—bukan mabuk perjalanan tapi gejala fobia, namun tidak separah waktu pertama kali menaiki bus.
Dirinya tidak bisa berada dalam keadaan se-riuh ini, dan jika terlanjur, terpaksa ia akan menahan gejolak rasa sakit itu sampai bertemu dengan tujuannya. Hera sudah terbiasa bahkan hampir setiap hari mendapati suasana bus yang seperti ini, ia jalani apa adanya, toh, kalau dia terus-terusan menuruti egonya, ia benar-benar tidak akan bisa pergi ke sekolah.
Pagi ini, Hera lagi-lagi lupa harus mengenakan jaket. Embun pagi yang masih begitu dingin terkadang membuat Hera harus mengeratkan tasnya sebagai pengganti jaket—walau tahu itu tidak mempan.
Ia menunduk, otaknya merelaksasi seluruh pikiran jernih untuk pagi ini, sungguh pagi yang ... Biasa-biasa saja.
"Eh."
Namun tak sejalan dengan apa yang Hera harapkan. Dirinya terpatung seketika saat tiba-tiba merasakan sesuatu yang tengah menyentuh rok bagian paha belakang Hera dengan lembut. Sontak Hera terbelalak kemudian segera memutar kepalanya menghadap belakang.
Sosok pria paruh baya dengan pakaian serba hitam serta topi hitamnya juga membuat Hera waspada, gerak-gerik laki-laki itu begitu mencurigakan. Apa barusan orang itu yang ... Ah, tidak, mungkin Hera hanya berkhayal karena efek pusingnya ini.
Hera terbelalak kembali saat sentuhan itu tiba-tiba mendarat di paha bagian belakangnya. Ia tidak sedang berkhayal, bahkan rasanya sungguh nyata. Gawat. Ia menoleh ke belakang, laki-laki paruh baya itu menatap Hera dengan seringainya. Spontan Hera bergerak maju hingga orang aneh tersebut tak dapat lagi menjangkaunya.
Sial! Orang mesum itu terus saja mengikuti dan kini kembali berdiri di belakang Hera.
Sedang Hera, ia hanya dapat berdoa agar ia tetap baik-baik saja. Dadanya semakin sesak kala mengetahui laki-laki itu sudah berada di belakangnya saja. Anehnya, tidak ada seorangpun yang menyadari akan keadaan Hera sekarang. Titisan setan mereka semua. Menyebalkan
"Seseorang tolong ...."
Tiba-tiba—
Srek!
Sontak Hera terkejut bukan main saat melihat ada sepasang tangan besar tengah melingkarkan sebuah jaket di pinggangnya, kemudian merangkul punggung Hera—hampir bersentuhan—sembari mengaitkan bagian tangan jaket itu di depan perutnya sampai menutupi paha belakang Hera secepat mungkin.
Ia segera menoleh ke belakang, melihat siapa superhero itu.
"Arshel ...."
Tak kalah terkejut, ia juga bingung kenapa harus bertemu dengan manusia sebaik ini dalam hidupnya. Seorang Arshel, yah, yang tiba-tiba saja sudah berdiri santai di belakangnya sembari memandangi jalanan luar seakan-akan ia tidak pernah melakukan apapun saat di belakang sana. Apa yang terjadi? Hera sungguh tidak dapat mencerna situasi ini. Benarkah Arshel? Dari jaket yang tengah melingkar di pinggangnya itu ... Hera ingat bahwa Arshel pernah memakainya dulu.
Hera menunduk menatap jaket hitam itu sembari memutar otak. Bersyukurlah Hera karena masih ada orang yang menyadari kalau dia sedang dalam bahaya. Namun, yang ia bingungkan adalah sejak kapan Arshel ada di dalam bus? Bahkan saat di halte ia sama sekali tidak melihat adanya tanda-tanda laki-laki itu.
"Makasih, Arshel," lirih Hera namun masih terdengar oleh manusia di belakangnya.
Arshel mengangguk-angguk. "Hm."
Jarak yang begitu dekat, hingga saat bus berhenti mendadak pun mereka hampir bertabrakan, bahkan sepatu kanan Arshel sempat terinjak oleh sepatu Hera. Sesekali Hera maju beberapa centi agar rasa canggung itu segera hilang di antara mereka.