ARSHERA

Ayu Setya Rini
Chapter #12

BAGIAN KESEBELAS

"Cukup katakan kalau itu menyakitkan, jangan lampaui batas, ya?"

-Arshel Sadhewa-

|~•~•~•~•~|

" ... Karena mereka bukan lagi tandingan gue."

BRAAAK

"Ah!"

Hera segera meringkuk, terpejam, melindungi kepala dengan kedua tangan setelah benar-benar dibuat terkejut oleh sebuah papan kayu yang ia taruh tadi, tiba-tiba papan kayu itu terjatuh ke arahnya. Napas Hera bekerja tak beraturan karena membayangkan betapa hebat rasa sakit yang akan ia alami ketika papan kayu berat itu sudah berhasil mengenai kepala. Namun, yang ia bayang-bayangkan dalam pikiran tidak kunjung ia rasakan saat ini, tak ada rasa sakit, bahkan papan kayu tersebut tidak terdengar jatuh ke arahnya.

Ia meringis kesakitan ketika mendapati lututnya tidak sengaja tergores pintu kamar mandi perempuan yang sedari tadi terbuka akibat ulahnya sendiri. Rasa sakit ini sudah bukan menjadi masalah, yang ia pentingkan sekarang adalah tentang papan kayu itu.

Spontan Hera membuka mata, segera mendongak, dan impulsif kedua matanya terbelalak ketika papan kayu tersebut malah mengenai Danu. Hera secepatnya berdiri, beberapa detik kemudian dirinya mencoba mencerna apa yang terjadi. Papan kayu tersebut sekarang sedang di tahan oleh lengan kekar Danu, maka dari itu Hera tak merasakan apapun, ekspresinya begitu kesakitan hingga Hera sadar ia harus segera membantunya.

"Astaga ... Astaga ... Bencana nih, bencana!" Lirih Hera ketakutan.

Kedua tangan Hera segera bergerak menyenderkan papan kayu itu lagi di depan tembok, tatapannya memandang Danu yang sekarang tengah meregangkan lengan atasnya perlahan, masih dengan ekspresi kesakitan. "Aghh."

"M-maaf ... Salahku." Hera menunduk, kedua tangannya saling bertaut penuh keringat, degup jantung Hera bekerja lihai tak kala rasa bersalah semakin muncul.

"Emang," cetus Danu kesal. Jika bukan karena yang ia hadapkan adalah seorang wanita cupu yang hanya mengenal takut dan khawatir, mana mungkin Danu mau merelakan tangannya itu kesakitan seperti sekarang. Bukan apa-apa, setiap laki-laki pasti memiliki naluri untuk melindungi wanita dengan spontan entah seberat apapun yang menimpa. Yah, semacam yang dilakukan Danu barusan.

"Aku minta maaf sekali lagi," lirih Hera ketakutan setengah mati.

"Pergi," titah Danu begitu saja.

Hera buru-buru mengangguk. Ia segera melangkah hendak keluar dari sana seperti apa yang sudah laki-laki itu perintahkan. Dalam tunduknya, ia benar-benar merasa tidak enak hati, apalagi dengan raut Danu yang semakin membuatnya ketakutan, takut andai besok tiba-tiba nyawanya sudah menghilang.

"Bentar," sekali lagi Danu menghentikannya. Ia berbalik menghadap Hera yang hampir keluar dari pintu kamar mandi.

Seketika Hera terhenti, kepalanya menoleh ke belakang dengan ekspresi bingung. Kenapa lagi? Danu hendak meminta sebuah pertanggung jawaban kah? Atau mau menghajarnya habis-habisan? Oh, ayolah, jangan sampai hal itu terjadi.

Sorot mata Danu beralih pada lutut Hera, syukurlah ia menyadari luka itu. "Cepet sembuhin luka lo ... sebelum ada yang ngira gue yang nyebabin itu."

Hera mengangguk pelan sembari memandangi luka di lututnya, tidak terlalu buruk. Sudah tidak ada yang hendak Danu sampaikan lagi sepertinya, Hera melanjutkan perjalan kembali sebelum suara bariton itu semakin menghambatnya untuk pulang.

***

"Danu itu temen gue ... dulu," singkap Arshel. Ia semakin melirihkan nada suaranya saat baru saja mendengar Hera yang tiba-tiba bertanya soal Danu. Membicarakan tentang dirinya dengan sebuah masa lalu terkadang dapat membuat Arshel khawatir, khawatir akan kejadian-kejadian buruk yang tidak diinginkannya akan muncul kembali. Namun, demi untuk sebuah penjelasan, Arshel mau saja membuka mulut.

Sore yang menyejukkan, mereka berdua, Arshel dan Hera tengah duduk di atas kursi besi taman, memandang lurus ke depan dengan dibarengi jarak yang semakin lama semakin mendekat karena terlampau nyaman. Kali ini seorang Hera yang mau terlebih dahulu menghampiri Arshel, tanpa sengaja ia bertemu dengan Arshel di taman, jadi sebelum dirinya menemui Arshel, lebih baik ia kembali ke rumah kemudian mengembalikan jaket yang sempat dipinjamkan itu.

Semakin bertambahnya waktu, makin akrab mereka. Entahlah ada apa dengan Hera namun, tidak biasanya ia menjadi sangat normal di depan orang lain. Saat Hera berada di samping Arshel ... Serasa tidak ada beban yang hinggap menambah sesaknya. Yah, mungkin saja Hera benar-benar sudah termakan kenyamanan yang sempat Arshel tanamkan sebagai seorang teman sebangku.

"Teman SMP." Arshel menoleh pada Hera dengan raut sedih, seperti hendak menyampaikan cerita terburuk versinya.

Hera masih terus menyimak, sesekali menunduk memainkan sepatunya sembari menunggu kalimat yang hendak Arshel katakan.

Lihat selengkapnya