"Sebuah masa lalu tidak akan seburuk yang dibayangkan jika dapat berteman dengan masa depan pula."
-Hera Alagna-
|~•~•~•~•~|
Hari esok, setelah pulang sekolah.
Hembusan angin sore mulai mengisi kekosongan mereka. Menyapa helaian rambut di sana dengan lembut layaknya menyentuh kain sutra, pemandangan indah bunga-bunga taman membuat seulas senyum tak berhenti bangkit. Mereka masih nyaman mengenakan seragam sekolah, memakai tas di atas punggung mereka sembari duduk pada kursi besi taman. Sedikit jarak namun masih lumrah untuk dapat saling berbincang.
"Perasaan lo gimana? Udah mendingan?" Tanya Arshel mencairkan suasana. Ia menoleh memandang Hera yang kini tengah menunduk dengan wajah seperti sedang memikirkan sesuatu yang benar-benar sulit untuk direnungkan.
Hera menggeleng.
"Gue nggak suka hening," tutur Arshel sembari tersenyum tipis. Alih-alih untuk membuat sebuah kode agar Hera mau membuka suara." ... Lo punya cerita tentang sesuatu?"
Hera masih tetap menggeleng.
Kini giliran Arshel menunduk dengan anggukannya, mencoba mengerti apa yang Hera rasakan saat ini. Nihil, ia tetap tidak paham sebelum Hera angkat bicara. Arshel sedikit terbebani jika sudah dalam situasi semacam ini. Dirinya tak terlalu terbiasa akrab dengan orang yang begitu dingin dan juga tak acuh, tapi meskipun begitu Arshel yakin bahwa Hera tidak akan separah itu. Semoga.
"Arshel," panggil Hera tiba-tiba dan sontak membuat Arshel terkejut lalu menoleh. Akhirnya gadis itu mau membuka suara.
Sejujurnya, Hera sangat takut harus membicarakan tentang hal ini namun, di sisi lain ia juga penasaran apakah Arshel juga mengetahui rahasia publiknya itu. Yah, rahasia publik, tentang fobianya.
"Emm ... Kamu tahu tentang .... " Hera menggantungkan kalimatnya. Demi apapun ia benar-benar gugup setengah mati bahkan dadanya hampir sesak saking melekat kekhawatiran itu. Kedua telapak tangan Hera saling bertaut penuh keringat.
"Ng ... Nggak jadi, deh." Hera menghela napas gusar.
"Kenapa? Ada apa, hm?" Tanya Arshel semakin penasaran.
"Nggak ada," balas Hera singkat.
Giliran Arshel yang menghela napas panjang sebab tak tahan dengan gejolak ingin tahunya ini. "Lo mau ngomongin ...."
"Fobia itu, ya?" Sela Arshel segera tanpa pikir panjang lagi. Entah kenapa pikirannya spontan teringat akan hal itu.
Hera mendongak, membeliak memandang Arshel penuh rasa takut. Degup jantungnya mulai bekerja tak beraturan hingga panik pun melanda. Ia sungguh sudah menebak bahwa fobia-nya ini akan kumat segera setelah merasakan ada yang tengah menekannya, tapi ini betul-betul menyakitkan sampai rasa pusing bercampur mual mulai terasa. Sekujur tubuhnya terlampau panas-dingin setelah mendapati Arshel sudah mengangguki ucapannya- semua itu termasuk reaksi seorang fobia sosial.
"K-kamu tahu?" Hera mulai lemas.
Arshel mengangguk pelan, ekspresimya sedikit tegang. "Nggak apa-apa, kan?"
Hera segera menggeleng penuh rasa takut. Demi apapun ia begitu terkejut dengan apa yang menjadikan kekhawatirannya sampai sekarang, terasa nyata. Benak Hera sontak terngiang bahwa ia akan kehilangan seorang teman lagi ketika mengetahui tentang rahasia itu. Trauma, menyakitkan.
DEG!
DEG!
DEG!
"Arshel ... Jangan pergi seperti yang lain saat kamu udah tahu gimana aku ..." Lirih Hera sembari menahan pening. "Aku mohon ...."
Arshel mengernyit kebingungan, bersama perasaan khawatir yang mendadak hinggap ketika melihat wajah Hera yang pucat. "Maksud lo apa? Hera? Her?"
Pandangan Hera mulai kabur. Ia menggeleng beberapa kali sembari memegangi pelipis dalam tunduk. Dadanya semakin sesak, degup jantungnya tak kalah mencekik. Pening semakin menjadi sedangkan perlahan-lahan tatapannya menghitam. Ia menyesal harus bertanya dengan pertanyaan yang tentu sulit bagi Hera untuk diterima, dan ... Penyesalan memang selalu datang terlambat, bukan?
"L-Lo kenapa, Hera?" Nada bariton Arshel terdengar begitu khawatir. Mendapati Hera dengan gelagat aneh, seperti kesakitan yang mendalam, sontak tangan Arshel segera mendongakkan kepala Hera agar menatap mata cemasnya. "Hera! Lo kenapa!"
Hera berusaha sekuat tenaga agar bisa memandang Arshel balik, alhasil ... Semuanya gelap bahkan sudah tidak terdengar lagi pekikan Arshel yang sempat memekak. Di sana sungguh gelap dan hening.
***
"Mah! Lihat Mah! Aku tadi dapat nilai tinggi di kelas!" Pekik Hera bersorak-sorai dalam hatinya. Ia memamerkan sebuah kertas hasil ujian ke pada sang ibu tercinta yang kini tengah sibuk sendiri mencari sebuah berkas.
"Wah! Iya, Nak, selamat, ya," balas ibunda tanpa menoleh pada Hera dan masih saja bergemuruh terhadap berkas-berkas pentingnya.
Hera seketika memamerkan wajah cemberutnya, menunduk sembari memandang kertas ujian tersebut begitu murung. Gadis berumur sekitar 14 tahunan itu, dirinya seperti sudah terbiasa mendapat kasih sayang palsu seorang ibu, mendapat teguran tegas dari ayahnya yang berujung kekerasan. Beruntung, karena sepasang orang tua itu sudah saling bercerai. Namun, tidak ada bedanya dengan Hera yang kehidupannya semakin suntuk, kala di sekolah dan di rumah bagaikan penjara kepedihan yang menyiksanya setiap waktu.
"Mah," panggil Hera lirih. "Lihat aku sebentar, aku mau tahu bagaimana wajah bangga Mamah terhadap Hera."
Segera sang ibunda terpatung, tertegun berkat ucapan perih dari mulut buah hatinya itu. Beliau menoleh pada Hera. Wajah cantik dengan sedikit keriput di bagian sudut mata, memakai setelan jas wanita, menandakan wanita karir yang super sibuk.
"Iya, Nak." Ibunda tersenyum tipis, tak lama, beliau kembali menghadap depan kemudian tangannya mulai sibuk lagi. Hah, terlalu perfeksionis.