"Cemburu itu nggak ngenal siapa posisi dia di kehidupan lo, bahkan abang siomay aja bisa dicemburuin, dan kalau udah seberlebihan itu, berarti dia beneran sayang."
-J O M B L O-
|~•~•~•~•~|
"Namanya siapa?" Tanya Zia setelah selesai mendengarkan cerita singkat yang barusan terucap dari mulut Arshel. Ia menyeruput kopi Americano yang baru saja di taruh mbak pelayan di atas meja, kemudian mengunci tatap Arshel sembari tersenyum tipis.
"Hera," balas Arshel ikut tersenyum.
Zia mengangguk-angguk sembari meletakkan kembali cangkir itu di atas meja. Ia menyiahkan rambut sisi kanannya ke belakang telinga, menunduk menatap cangkir kopi, sesekali menghela napas panjang karena perasannya sedang racau kali ini. Bukan apa-apa, tidak masalah jika Arshel membahas tentang seorang teman di depannya, hanya saja ... Entah kenapa peristiwa-peristiwa yang barusan Arshel ceritakan begitu menarik dan terdengar nyaman, walau ia memang tak mau mendengarkan semuanya. Dan hal itu seketika membuat Zia merasa gelisah.
Sedari tadi Arshel memandangi gelagat aneh Zia setelah gadisnya ini mulai mendengarkan cerita tentang teman barunya di sekolah. Dalam benak Arshel, tertanam sebuah pemikiran bahwa Zia tengah menyembunyikan sesuatu. Arshel mendekat menuju wajah cantik Zia sembari tersenyum hangat, menampakkan gigi putihnya bermaksud sedikit menambah kesan berkharisma, hahah, tampan sialan.
"Ada apa?" Tanya Arshel begitu lembut, hingga membuat Zia mau mendongak menatapnya dengan raut cemberut seperti menunjukkan kalau dirinya tengah ngambek.
Zia menggeleng, masih dengan raut cemberutnya. "Pasti Hera cantik, ya?"
Seketika Arshel tertawa kecil, tangan kanannya beranjak mengelus rambut halus Zia, beralih mencubit kecil pangkal hidung gadis itu kemudian menatapnya dengan lekat. Senyum tampan Arshel masih saja tertanam segar.
"Cantik," jawab Arshel tanpa berpikir panjang.
Zia segera mengerutkan kening, mulutnya semakin mengerucut hingga ia menunduk sembari menampik, "Ih, dasar ...."
Sekali lagi Arshel tertawa kecil, tangannya lagi-lagi mengacak-acak rambut Zia, kemudian ia menjauh dan duduk dengan normal. "Tukang cemburuannya dateng, nih."
Zia memutar bola matanya jengkel.
"Secantik-cantiknya temen aku ... Mereka tetap teman," ucap Arshel. "Begitu juga dengan kamu, walau se-cemburu apa kamu saat ini ... Kamu tetap hanya satu ...."
" ... Di sini." Arshel menunjuk ke arah dadanya, sambil tersenyum lebar setelah mengetahui Zia tengah memamerkan ekspresi jijik ketika sudah menduga Arshel akan membuang rasa malunya. Mereka berdua akhirnya dapat tertawa lepas setelah sekian lama Arshel menginginkan senyum manis gadisnya itu. Syukurlah tidak ada suasana canggung yang berhasil mengelabui mereka.
"Oh, iya." Zia tiba-tiba menghentikan gelak tawanya. Ia menatap Arshel dengan serius sampai lawan bicara di depannya itu balik menatap Hera dan malah terlihat kebingungan.
"Jadi ... Kamu mau nglakuin apa buat Hera?" Tanya Zia begitu penasaran.
Seketika Arshel memasang ekspresi terkejut, entahlah ia belum berpikir sampai sejauh itu. Hera mulai memutar otak sedalam-dalamnya hingga teringat akan suatu hal yang sedari dulu hendak ia lakukan.
"Mungkin ... Aku harus lebih akrab lagi sama dia, aku harus lebih ngerti gimana perasaan dia, belum sampai kepikiran, sih, mau gimana dulu," jawab Arshel apa adanya. Beberapa detik kemudian, dirinya tersadar akan kalimat yang sempat mengganjal, bukan, hanya saja ketika membicarakan tentang gadis lain di depan Zia, astaga ia lupa, Arshel tergolong ceroboh kali ini. Ia berkedip gugup sembari tertawa renyah. "E-emm, m-maksudku antara aku dan Hera adalah hubungan teman yang akrab, aku harus tahu perasaaan dia sebagai seroang teman, kamu paham, kan?"
Zia mengangguk. Ia menunduk kembali, merasakan sedikit remuk yang begitu pilu saat mendengar kata 'akrab' dan 'lebih mengerti perasaan' yang ditujukan untuk seorang gadis berpenyakit—saat Arshel mulai menceritakan tentang Hera, Zia sudah menduga kalau gadis itu tidak beres—bernama Hera, kemudian ia mendongak sembari memaksakan senyum agar Arshel tidak terlampau khawatir tentang perasaannya saat ini. Tidak menyangka saja, hubungannya dengan Arshel semakin lama akan sulit dijalani semenjak laki-laki itu jauh darinya.
"Kamu suka sama dia?" Tanya Zia tak bisa tahan lagi.
Arshel segera menggeleng dengan ekspresi menanap tegang. Ya walaupun memang benar tentang gelengan itu namun, setiap orang pasti akan merasa ketakutan saat sudah berada di posisi Arshel. "Enggak! Kan aku udah bilang ... Aku mau bantu dia, kasihan cewek itu."
Zia mengangguk lemas. "Kamu mau ngelakuin hal yang sama kayak dulu? Kamu mau merasa sedih lagi karena terlalu niat untuk bantu orang?"
"Enggak, Zia." Arshel menggeleng dengan raut khawatir. "Aku yakin aku bisa, harapan dia nggak akan bertahan lama kalau nggak ada orang yang mau dukung dia ... aku takut saat seseorang berakhir dengan mengenaskan cuma karena nggak ada harapan lagi."