"Kamu boleh dekat dengan siapapun, tapi keterlaluan kalau kamu mau menjadikan siapapun itu sebagai siapa saja tanpa terkecuali. Paham?"
-Hera Alagna-
|~•~•~•~•~|
"Lo masih sempat ragu, ya, dengan orang-orang yang bahkan mau nge-bela lo saat di kelas waktu itu?" Tanya Arshel mencoba meyakinkan seorang Hera.
Hera menggeleng. "Aku berusaha sebisa mungkin untuk berpikir baik tentang mereka ... Tapi semua itu percuma, aku nggak bisa."
Sontak Arshel tersenyum tipis, menyeimbangkan situasi saat ini. Tidak ada yang tidak mungkin bukan, jika kita percaya dengan diri kita sendiri. Begitu pula dengan Hera, Arshel yakin Hera terlalu mudah goyah terhadap perasaan sampai selalu gagal dalam melawan pikiran buruknya. Kemudian tugasnya berarti ... Arshel tahu harus melakukan apa kali ini.
"Lo udah pernah ke psikolog untuk masalah lo ini?" Tanya Arshel kemudian hanya diberi gelengan oleh sang lawan bicara.
"Kenapa?"
Hera masih saja menggeleng.
"Eemm ... Aku harus nunggu seseorang dulu sebelum pergi ke sana," balas Hera setelah beberapa detik terdiam.
Spontan kening Arshel mengerut menandakan kebingungan pada benaknya. "Seseorang ... Siapa?"
Hera mendongak menatap manik mata laki-laki tampan itu, tersenyum tipis hingga menular pada Arshel. "Mamah."
Mulut Arshel terkejut membentuk huruf O sembari mengangguk-angguk seperti baru saja mengetahui sebuah kebenaran. Ia tersenyum kikuk seraya mengusap tengkuk, dugaannya salah, pikir Arshel gadis itu sedang menunggu seseorang yang spesial, dalam artian adalah seorang laki-laki yang sangatlah berarti bagi hidup Hera sampai mau menunggunya, ternyata Arshel memang salah satu manusia yang mudah sekali termakan kebohongan dalam drama.
"Emang ... mamah lo dimana?" Tanya Arshel.
Hera menunduk kembali, lagi-lagi raut sedihnya ia pamerkan. Sesak menghampiri tak kala mengingat apa yang menjadi kesedihan Hera sampai sekarang.
"Mamah ... Udah meninggal," lirih Hera dalam tunduk. Kedua pelupuk matanya memanas hendak mengeluarkan segelintir air mata namun segera ia tahan, bagaimanapun ia tetap tak mau bersikap lemah di depan seseorang. "Seperti yang aku bilang, mamah kerja tanpa henti, dan kebetulan Mamah lagi nggak beruntung, Mamah meninggal karena kecelakaan."
Arshel terpatung selama beberapa saat, bagaimana bisa Hera berkata seperti itu? Itu berarti ia tidak akan melakukannya, bukan? Sontak kedua mata Arshel berubah sayu bercampur semburat kesedihan ketika mendengar nada bicara Hera terdengar begitu menyiksa.
Hera tersenyum kecil, menatap Arshel beberapa kali hingga sampailah manik matanya terlihat berkaca-kaca. "Yah, aku nggak akan pernah bisa ke psikolog karena mamah udah nggak ada, aku tinggal sendirian di sini ... hidupku bergantung dari uang tante aku, ayah juga udah nyusul mamah setahun yang lalu. Lagian, aku rasa aku nggak sampai perlu ke psikolog."
"Aku nggak separah itu ... Mungkin." Hera menggeleng.
Sekali lagi Hera menampakkan nada pesimisnya. Ia menggeleng pasrah. "Mau bagaimanapun, aku tetap seperti ini ... Nggak berguna."
Arshel menampakkan ekspresi kesal Seketika. Ia beranjak dari kursi, kemudian beralih duduk di sofa samping Hera. Ia menghela napas panjang, tatapan sendu itu masih tertanam sebelum kesedihan Hera menyurut. Tangan kanan Arshel perlahan menyentuh rambut Hera, mengelusnya hingga di rasa tenang, sesekali tersenyum saat Hera memandangnya.
Tidak peduli dengan perasaan apa yang Hera peroleh ketika Arshel bersikap begitu hangat saat ini, pikirannya tetap tertuju pada ucapannya sendiri, yang kini malah membuatnya semakin sesak.
"Hei ..." Panggil Arshel lirih juga hangat. Tangannya berhenti beraktivitas di atas rambut Hera setelah Hera mau menatapnya. "Lo tahu nggak ... Kenapa Tuhan kasih lo cobaan seberat ini?"
Hera mengangguk. "Karena aku pasti bisa jalaninnya."
Arshel semakin melebarkan senyum. "Itu lo tahu, terus ... Kalau lo paham lo bisa, kenapa harus bilang nggak berguna?"
"Tuhan akan beri lo cobaan seberat itu karena nantinya ... lo akan diberi timbal balik seberat itu pula," tutur Arshel sambil tersenyum manis. Demi apapun setiap tutur kata yang keluar dari mulut Arshel seketika dapat membuat Hera terpana bagaikan menemui sebuah keberuntungan. "Lo percaya, kan?"
Hera mengangguk pelan.
"Cuma karena masa lalu lo yang menyakitkan, tapi bukan berarti masa depan lo juga harus hancur," tutur Arshel.
"Kalau misalkan lo akan menyerah sekarang, dan misalkan pun lo meninggal saat ini juga, apa yang akan lo katakan saat nanti ketemu bokap-nyokap lo di akhirat sana? Mungkinkah lo akan ngomong kalau lo nggak kuat hidup di dunia? Ataukah lo akan nyalahin diri lo karena lo nggak berguna? Itu namanya lo malah bikin malu mereka," tegas Arshel. Sorot matanya terlihat mulai menampakkan keseriusan.
Dasar manusia lemah. Arshel sungguh merasa muak, ketika mendapati seseorang merasa tidak dapat menikmati suatu kehidupan karena tak ada nya rasa bersyukur dalam dirinya. Bukankah dapat bernapas, makan, minum, melakukan segala aktivitas dengan lancar sudah dapat diartikan sebagai berguna? Paling tidak di mata makhluk yang tidak dapat merasakannya.
Hera menunduk. Dalam tunduknya ia mencoba memahami apa yang Arshel ucapkan. Benar juga, jika Hera begini terus ... Kedua orang tuanya pasti akan bersedih. Di sisi lain, pikirannya menunjukkan sebuah pertanyaan, tentang apa yang harus ia lakukan setelah ini ketika ia mau berubah, langkah awal mana yang harus Hera tapak.
"Pikirkan kemungkinannya, bukan kegagalannya," imbuh Arshel mencoba terus meyakinkan. "Bukannya gue udah bilang ... Gue akan bantu lo buat lepas dari masalah lo. Gue pernah dengar, kalau fobia yang lo derita ini bisa ilang dengan cepat."
"Jangan coba-coba hibur aku deh ... Aku tahu aku nyusahin," tampik Hera sebal.
Arshel segera menggeleng. "Sama sekali enggak, gue selalu lakukan apapun dengan ikhlas, emang sih, gue nggak bisa sepenuhnya membantu, tapi gue akan coba buktikan."