"Sini, duduk di sampingku dan mulai ceritakan segala keluh kesahmu. Peluk juga silakan, kata orang bule biar akrab gitu."
-Arshel Sadhewa-
|~•~•~•~•~|
Gadis pemalu itu memakai seragam sekolahnya di hari senin, mengaitkan kancing atas seragam, menaikkan resleting roknya, kemudian beralih pada kerah seragam yang masih terlipat berantakan. Pagi ini, entah kenapa serasa ia ingin sekali merubah hari-hari buruk yang sebelumnya membelenggu menjadi lengkungan pelangi yang begitu indah.
"Seragam udah ... Tinggal ...." Hera mencoba mengingat apa saja yang harus ia persiapkan untuk pagi cerahnya.
Semalaman Hera berdebat dengan pikiran, ego, dan batinnya. Tentang merubah sikap, Hera niatkan sepenuh hati, ia teguhkan dalam-dalam agar sungguh keinginannya dapat tercapai, yaitu dapat bergaul dengan banyak orang dan mengembangkan senyum lebar tanpa ragu-ragu lagi. Jika dipikir-pikir ... Sudah lama Hera menginginkan semangat seperti ini, tentu karena dukungan dari seseorang yang Hera suka pula.
Senyum semringah itu ia lebarkan ketika selesai menguncir kuda rambut hitam halusnya, melihat dirinya secantik ini di depan cermin, membuat Hera lebih percaya diri, sekarang tidak ada lagi aktivitas menutup wajah dengan sebagian rambut, menunduk secara spontan, dan takut. Ia harus menempis segala sikap buruknya itu—jika mungkin bisa.
"Aku bisa, kan? Kenapa masih ragu?" Gumam Hera lalu menghela napas gusar. "Tentunya karena aku takut."
Beberapa detik kemudian, senyumnya bangkit kembali. "Bodo amat, pokoknya harus hari ini."
Banyak kebebasan yang Hera sematkan, hendak ia tunjukkan nanti saat bertemu dengan teman sekolahnya. Tidak ada batasan lagi untuk seorang Hera memiliki pikiran bodoh, ia tak mau kembali tersiksa atas semua kekhawatirannya. Namun, Hera masih tetap saja yakin bahwa semangat membara ini hanya akan tersemat selama beberapa jam saja, entah kenapa ia yakin dengan itu.
Sudahlah, cukup untuk membanggakan diri dan bermonolog untuk pagi ini, Hera segera mengambil tas ransel di atas ranjang, memakai tas itu sembari tersenyum hangat menatap dirinya sekali lagi di depan kaca. Tangan Hera menghadap ke atas membentuk kepalan penuh semangat.
"Semangat, Hera! Kamu bisa!"
***
Seorang laki-laki dengan ransel hitam, rambut two block yang rapi seperti biasa, senyum lebar, serta kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana seragamnya, sekarang tengah berdiri di depan gerbang luar rumah Hera selama kurang lebih 15 menit. Untuk pertama kalinya laki-laki itu melakukan hal seperti ini, menunggu seseorang yang bahkan baru-baru ini dikenalnya, tentunya sedikit aneh, tapi tidak masalah, demi janjinya untuk menolong seorang teman.
Hera terus menggugah senyum sembari berjalan menuju pintu utama, membuka pintu kemudian keluar dan menguncinya. Selesai, ia menyimpan kunci itu ke dalam saku tas, berbalik dan berjalan menuju pintu gerbang.
"Woy! Semangat banget!" Pekik Arshel menggoda.
Sontak Hera terhenti menanap, senyumnya seketika meluntur ketika mengetahui di depan gerbang rumah sedang berdiri seseorang yang tengah menatapnya sembari tersenyum seperti tidak memiliki kesedihan.
"Pagi, Hera." Suara bariton itu berhenti memekik.
"A-Arshel," lirih Hera memaksakan senyum. Ia melambaikan tangannya ragu ke arah seseorang yang sudah diketahui adalah Arshel itu.
Arshel membalas lambaian Hera, beralih mengayunkan tangan mengisyaratkan agar Hera segera membuka pintu gerbang.
Hera mengangguk cepat, lekas ia menemui pintu gerbang, membukanya dari dalam, keluar dari lingkungan rumah sembari mengunci gerbang kembali. Setelah selesai dengan aktivitas kecilnya, ia menoleh ke arah Arshel dengan senyuman tipis, mencoba sekuat tenaga untuk tidak menunduk bagaimanapun keadaan hatinya saat ini.
"Lo kesambet, ya?" cetus Arshel ketika mengetahui sikap Hera terlihat aneh pagi ini, dan spontan membuat sang lawan bicara mengendurkan senyum dan malah menunjukkan tundukan-nya kembali. Tidak biasanya Hera tersenyum selama lebih dari lima detik di depan Arshel, apa lagi saat Arshel melihat penampilan Hera sekarang ... Cantik, hal itulah yang membuat Arshel malah terheran-heran.
"Kenapa tiba-tiba lo kayak gini ...?" Arshel masih terheran-heran.
Demi apapun Hera benar-benar mulai merasa malu, kepercayaan dirinya serasa di robohkan oleh sebuah pisau tumpul. Bukan seperti ini tanggapan yang Hera inginkan.
Spontan Arshel melebarkan senyumannya kembali. Tangannya mengacak-acak rambut Hera sembari berucap, "Cantik. Kayak gini kek tiap hari."