"Kalau emang mau marah, tinggal bilang, jangan bikin orang lain pusing tujuh keliling."
-Arshel Sadhewa-
|~•~•~•~•~|
Pagi, hari Sabtu.
08.10
Kemarin, seperti sebuah mimpi buruk untuk Hera dan juga Arshel. Mereka seakan membisu ketika ucapan dari mulut Danu masih sempat terngiang. Bukan, sepertinya hanya Hera yang sibuk sendiri memikirkan itu. Suasana canggung dan kesal terus saja membelenggu, Hera sungguh tidak tahan dengan semua pertanyaan-pertanyaan beruntun dalam benaknya ini.
Mereka berdua duduk di bangkunya, sorot matanya tertuju pada papan putih itu namun, pikiran mereka tetap tak akan lepas dari ucapan-ucapan manusia tak berakhlak kemarin.
Hera sangat-sangat ingin menanyakan pada Arshel sekali lagi, apa maksud dari ucapan Danu kemarin, namun sayang, keberanian itu tidak dapat seketika muncul kembali karena takut jika di sangka ia senang ber-ikut campur. Dalam pikiran Hera benar-benar masih terbesit sebuah pertanyaan gila yang semakin membludak.
"Kenapa?" Tanya Arshel mencairkan suasana. Ia telah menyelesaikan aktivitas menyalin tulisan yang berada di atas papan, kemudian iseng meregangkan tubuhnya karena terlalu capai, pandangannya melirik pada buku tulis Hera dan, tidak ada apa-apa di sana kecuali hanya tulisan angka satu yang tertulis sedari awal guru menerangkan. "Masih kepikiran soal kemarin?"
Hera tersadar dari lamunannya. Ia segera menggeleng, tangan kanan serta pandangan matanya sontak bekerja sama untuk segera menulis. Demi apapun ia benar-benar tak dapat fokus dengan pelajaran hari ini.
"Kan gue udah bilang ... Lupain aja, anggap yang kemarin itu nggak pernah ada. "Arshel beranjak menopang kepala, wajah tampan itu menghadap Hera dengan tatapan dalam, memandangi wajah murung di depannya sembari menghela napas panjang.
Hera masih saja menggeleng.
"Gue salah apa?" Sekali lagi Arshel menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak penting di telinga Hera. Begitu juga dengan Arshel, seketika ia merasa seperti diabaikan begitu saja sepama pagi ini.
Hera menggeleng kembali. Ia menghentikan aktivitas menulisnya, kemudian tatapannya beralih pada Arshel sedikit kesal. "Nggak ada."
Arshel menghela napas gusar sekali lagi. Sudahlah, ia tak mau lagi ikut campur, toh, memang Hera sudah biasa seperti itu, Arshel dapat memakluminya karena mungkin ia tidak sadar sedang membuat kesalahan kecil di waktu yang berbeda. Sorot matanya beralih pada lengan bawah Hera yang beberapa hari lalu sempat terluka, ia dapat tersenyum lega setelah mengetahui luka itu sudah mengering.
Hera yang baru menyadari bahwa Arshel tengah menatap lukanya, ia segera menyembunyikan tangannya ke bawah hingga tak ada lagi celah untuk Arshel dapat melihat, entahlah kenapa, namun Hera merasa kesal saja dengan Arshel. Kedua mata serta tangan kanan Hera kembali bekerja. Ia terus berharap bahwa tidak akan ada lagi perasaan dongkol yang entah dari mana asalnya itu.
Lagi-lagi Arshel memasang muka masam, kemudian posisinya kembali duduk dengan normal. Sungguh dugaannya kuat jika Hera ini tengah kesal terhadapnya, dan entahlah apa yang sudah ia perbuat. Sekelebat dalam pikirnya terbesit ... Tentang kemarin? Ah, tidak mungkin ... Atau iya? Tapi Hera sudah bilang bahwa ia mengerti apa yang Danu maksud. Tidak-tidak, barangkali bukan.
"Gue itu teman lo ... Atau patung, sih?" gerutu Arshel sembari melanjutkan menulisnya saat sang guru mulai menuliskan rumus lagi di papan tulis. "Kek nggak ada artinya banget."
"Teman, kok," sahut Hera.
"Punya teman itu cuman buat di diemin gini, ya?" Sekali lagi Arshel mengoceh. "Gue bisa sedih juga, kalau lo masih sakit hati untuk yang kemarin, lo boleh—"
Hera menggeleng. "Aku nggak bisa seperti kamu."
Arshel menghentikan jari-jemarinya yang melekat pada pulpen itu seketika. Ia merasa ada yang salah, entah dari Hera atau Arshel sendiri namun, Hera bersikap seperti senang sekali menghakimi akhir-akhir ini. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini? Demi apapun Arshel tidak dapat memahaminya.
"Ini juga bukan aku," imbuh Hera semakin lirih.
"Kamu bilang ... Kamu akan bantu aku," cetus Hera. Tangan kanannya berhenti menulis, ia menunduk, merasakan degup jantungnya yang semakin racau berkat kenyataan yang sempat terbesit. "Tapi aku yakin ... Kamu nggak akan bisa."
Spontan kepala Arshel menoleh menghadap Hera sembari mengerutkan kening. Apa ini? Sebuah gertakan, kah? Atau ... Sindiran? Yang benar saja, apa yang sudah terjadi pada Hera. Bagaimana bisa gadis pendiam seperti ini tiba-tiba membuang segala sifatnya dan menggantinya dengan yang lebih buruk. Arshel tidak pernah berpikir bahwa ia akan gagal dalam menolong seseorang, dan jika belum berhasil, berarti usahanya masih kurang, itu saja. Jika begini, entah kenapa rasa pesimis Arshel mulai meningkat berkat ucapan itu.
"Lebih baik kamu menyerah ... Aku nggak bisa terus seperti ini, bahkan ucapan aku barusan ... Aku nggak akan bisa berucap seperti itu lagi, karena itu bukan aku, aku hanya—
KRIIING
Hera menggigit kedua sisi bibir, tundukan-nya lebih dalam setelah rasa malu itu semakin menghampiri. Mereka berdua sepertinya tidak menghiraukan entah mau bel istirahat atau apapun itu, perbincangan mereka tetap tersambung.