"Semakin lama, semakin jauh, semakin hilang ... Kita jadi tahu apa itu sakit hati."
-Hera Alagna-
|~•~•~•~•~|
"Pokoknya lo harus hati-hati, cowok lo lagi suka sama cewek lain."
"Yang bener?" Zia ternganga kaget, beberapa detik kemudian kedua matanya berubah sayu menunjukkan sebuah kekecewaan.
"Lo pasti tahu tentang Hera, cewek itu ... Juga suka sama Arshel."
Zia benar-benar menunduk lesu tak kala perkataan yang sudah ia sangka-sangka akan terdengar secepat ini. Hatinya begitu remuk ketika feeling-nya tidak pernah meleset jika tentang Arshel. Ia memijat kedua pelipis yang berkunang-kunang akibat memikirkan kekasihnya itu. "Udah kuduga."
"Lebih baik lo harus ngomong tentang penyakit lo sekarang juga."
Zia menggeleng. "Aku takut Arshel sedih."
"Tapi dia emang pantas ngerasain itu, sebelum semuanya terlambat."
"Jangan dulu," tampik Zia lemas.
***
Malam, hari Jumat.
18.48
Sepi menghampiri setiap sudut rumah, ruang tamu gelap gulita, TV di ruang keluarga yang tidak biasanya mati, kamar tidur begitu rapi seperti belum tersentuh sedikitpun, serta bunyi shower yang kini merebah di setiap sisi kamar mandi.
Hari ini begitu berat, serasa sampai ingin mencabut otak dan menggantinya dengan yang lebih menguntungkan, hatinya begitu remuk hingga tak mampu disatukan hanya dengan sebuah lem kesenyuman. Maka dari itu ia putuskan untuk mengguyur seluruh tubuh sampai dirasa semua bebannya menghilang. Tanpa melepas seragam, biarkan basah semua agar dirinya tahu betapa menyakitkan hari ini.
Hera terdiam selama 15 menit di atas shower yang mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Ia menunduk, mencoba membuang segala memori buruk tentang dulu, kemarin, dan hari ini serta bersiap-siap membuat suatu memori baru untuk besok. Sesekali Hera menghela napas berat, entahlah, baru kali ini ia benar-benar merasakan yang namanya sakit hati sampai ingin semuanya berakhir.
"Aku nggak cemburu ...."
"Aku nggak sakit hati ...."
"Aku nggak kecewa ...."
"Aku bahagia saat ini."
"Harusnya begitu ...." Hera semakin menunduk.
"Aku harus menyerah ..." Lirih Hera kemudian memejamkan mata. "Atau enggak."
"Aku capek ..." Sekali lagi Hera melontarkan kalimat pesimisnya. Kedua pelupuk matanya memanas seketika, dan sontak air mata berharga itu keluar begitu saja di saat hanya tidak tahu bagaimana cara mengatasi suatu masalah. Pengecut.
***
"Jung! Ikan!" Ruah Arshel sembari menelisik sekeliling ruang keluarga. Ia tengah membawa mangkok berisikan satu ikan segar, dan tangan lainnya ia gunakan untuk menggenggam gelas kaca berisi air putih.
Ngeong!
Belum sampai tiga puluh detik, kucing menggemaskan itu muncul dari bawah sofa dengan sedikit kesulitan karena bulunya yang lebat. Jung berlari tunggang-langgang hingga kaki belakangnya hampir tergelincir, kucing itu segera menemui mangkok berisi ikan tersebut kemudian berhenti dan duduk lalu memakan tanpa basa-basi lagi.