"Kita tidak bisa menuntut sesuatu untuk berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sadar, kita bukan Tuhan."
-Arshel Sadhewa-
|~•~•~•~•~|
Pagi hari, hujan deras.
06.05
Pagi ini awan mendung sepertinya tak mengizinkan Hera untuk pergi begitu saja. Ia memandang kaca jendela kamar yang masih mengembun akibat suhu dingin semalam. Hera mengusap embun itu kemudian mendongak melihat jalanan, semakin sepi, lalu pandangannya beralih ke arah langit, hujannya semakin deras sedangkan sebentar lagi bus yang dinantikan pasti akan sampai di halte.
Selama lima menit ia melihat pelataran rumah, tidak ada tanda-tanda Arshel sedang menghampiri, yah, pastinya anak itu juga tak mau basah-basahan hanya karena repot-repot menunggu Hera.
Sudahlah, Hera tidak mau terlalu lama mengawatirkan keadaan buruk ini. Ia berbalik, segera mengambil tas, memakainya kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar.
Ia tergesa-gesa menuju dapur, menghampiri tempat payung di sudut tembok, mengambil sebuah payung yang tengah terdiam selama beberapa bulan karena hanya dipakai di saat cuaca seperti ini saja, entah masih dapat digunakan atau tidak, saat mengingat bahwa payung itu selalu menjadi bahan bulan-bulanan di saat seekor kecoa sedang bertamu.
Hera mengambil payung itu kemudian membukanya—
TAK!
"Yaaahh!"
Terkejutnya Hera saat tiba-tiba kanopi payung itu terlepas, malah terlontar jauh ke dasar lantai dan hanya tinggal gagangnya saja yang sekarang sedang ia genggam. Hera berkedip beberapa kali, memandang sebuah gagang yang kini terlihat seperti tongkat sihir Harry Potter itu, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, kemudian seluruh tubuhnya mendadak lemas ketika menyadari bahwa benda pelindung itu tak dapat lagi dipakainya.
"Aku harus gimana ini ..." Lirih Hera sembari memanyunkan bibir, mengerutuki apa yang menjadi kesialannya pagi ini.
Belum juga menyerah. Dalam benak Hera, seketika teringat dengan sebuah mantel yang sudah setahun lalu tidak terpakai dan hanya menjadi suatu pajangan indah di dalam gudang. Ia segera bangkit, berbalik dan berlari terbirit-birit menuju gudang rumah, tempat di mana semua barang berguna namun tak dianggap berada.
CKLEK
Sekali lagi Hera menghela napas, bagaimana bisa sebuah gudang dapat se-berantakan ini? Oh, ayolah, jangan sampai kekesalan ini menambah kesialannya lagi.
Ia memencet sebuah saklar di samping pintu, berjalan perlahan sembari menyisihkan kardus-kardus yang berserakan, sorot matanya tetap fokus mencari di mana keberadaan mantelnya itu.
Ketemu! Syukurlah benar-benar masih terpajang rapi di depan tembok yang berdebu. Hera segera mendekati mantel tersebut, mengambilnya, kemudian ia berbalik dan secepatnya melangkah pergi-
SREEEKK!
Baru lima langkah menemui pintu gudang, spontan Hera berhenti dan menoleh ke arah mantelnya. Ia terbelalak kaget saat melihat mantel itu tengah tersangkut pada sebuah kawat panjang yang tertanam pada tembok. Hera segera melepaskan sangkutan itu dengan tangannya yang bergetar hebat, takut jika nasibnya akan sama seperti payung tadi. Sial! Robekan pada bagian lengan itu sungguh lebar.
Sekali lagi Hera menunduk lemah, mantelnya terlepas dari genggaman tanpa sadar saking tidak bertenaga dirinya sekarang. Ia ingin menangis saja, kesiala pagi ini sepertinya tidak akan berhenti sampai besok.
Sudahlah, dari pada Hera terus menyesali semua benda berharga yang kini menjadi rongsokan itu, lebih baik ia memikirkan bagaimana caranya agar bisa sampai ke sekolah dengan tidak terlalu basah kuyup.
***
Hampir tertinggal bus, tetap basah kuyup, buku-bukunya basah, kedinginan, terlambat, keberuntungan Hera hari ini hanya tidak sampai tertinggal pelajaran pertama. Itu saja sudah membuat Hera bersyukur setengah mati. Namun, meskipun begitu ia tetap mendapatkan hukuman karena keterlambatannya walau hanya lima menit, dan pasti sebentar lagi akan ada orang yang memanggilnya untuk menemui guru BK.
Satu hal lagi yang menjadi kesialannya hari ini, dan yang menurutnya terparah ... Ternyata hari ini Arshel sedang tidak masuk sekolah, jadi sedari pagi ia hanya duduk sendiri, kembali seperti dirinya yang dulu. Entah ada apa dengan laki-laki itu, intinya Hera takut jika Arshel tengah melakukan hal bodoh berkat Danu kemarin.
Hera yang sekarang tengah meringkuk memeluk dirinya sendiri, di tempatnya tanpa mau beranjak, menunduk merasakan rasa dingin itu semakin merebah. Ia dikelilingi oleh Sukma, Meira, dan Ruby yang kini tengah serentak menatap Hera dengan raut khawatir, terkecuali Ruby yang terlihat masih santai-santai saja namun, tidak mungkin juga ia harus tak acuh ketika temannya sedang kesusahan seperti ini.