"Yang terlihat buruk, kadang nggak selamanya seperti itu, begitu juga sebaliknya. Sampai sini aja ... Masih mau nyakitin orang? Pengecut tahu nggak."
-Hera Alagna-
|~•~•~•~•~|
Hera terpejam kuat ketika rasa pusing itu semakin menguasai. Ia menunduk, tangannya meremas erat lengan bawah Danu.
Segera Danu menoleh pada Hera sedikit khawatir saat tangannya terasa sakit akibat genggaman Hera. Astaga, makin pucat saja. Telapak tangan Danu segera menempel di atas kening Hera, sial, benar-benar panas. Danu meraih jari tangan gadis tersebut lalu merasakan betapa dinginnya di sana.
Danu segera berdiri, menghadap Hera, kemudian berjongkok membelakangi gadis itu, ekspresinya mengisyaratkan Hera untuk naik pada punggungnya. "Cepetan naik."
Hera menggeleng lemas, namun kakinya tetap tak mau menolak. Ia berdiri, menghampiri punggung itu kemudian dengan lemahnya meringkuk di sana.
"Aku nggak apa-apa," gumam Hera ditengah ringkuknya. Laki-laki itu tak menghiraukan, ia mengeratkan kaki Hera pada kedua tangannya, membiarkan kedua tangan Hera melingkar di antara leher Danu, lalu ia melangkah pergi dari lapangan basket dengan santai tanpa peduli bagaimana tanggapan orang lain saat ini.
"Danu! Mau di bawa kemana anak itu?" Pekik seorang guru BK yang kebetulan sedari tadi memperhatikan gelagat Danu dan Hera.
Tidak ada jawaban dari Danu, ia tetap melanjutkan perjalanan hingga jejaknya tak lagi terlihat pada sorot mata guru BK itu. "Aish, anak aneh."
"Jangan ke UKS ..." Lirih Hera menahan pusing berkunang-kunang dalam keningnya. Ia terpejam erat, bibirnya semakin pucat hingga keringat makin bercucuran pada pelipis. Sungguh rasa sakit ini tak ada apa-apanya dibanding dengan merepotkan orang lain seperti sekarang.
Danu seketika berhenti. Kepalanya menoleh ke arah wajah pucat gadis itu sembari menghela napas panjang.
"Kelas," imbuh Hera tak tahan lagi.
Danu mengangguk. Sebenarnya, ia juga tidak tega ketika melihat Hera semakin menderita akibat menahan lara, seperti saat ini, langkahnya ingin sekali membawa mereka ke arah UKS, namun Danu juga tidak mau memperumit situasi. Lebih baik ia menuruti apa yang menjadi keinginan Hera sekarang.
Ia berjalan tergesa-gesa saat mengetahui kelas Hera sudah hampir sampai. Danu harus secepatnya memberikan Hera pada siapapun yang ada di dalam kelas untuk diperhatikan sebelum kondisi gadis itu semakin parah, pun sebelum bel masuk berkumandang. Yah, sebagai seseorang yang tidak pernah dekat dengan perempuan, bahkan Hera adalah gadis pertama yang sempat Danu tanggapi-karena yang lain hanya dianggapnya pengganggu, ia tak bisa berbuat apapun kecuali hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang laki-laki.
Danu memasuki kelas Hera tanpa pikir panjang. Ia berhenti di ambang pintu, melihat semua orang yang ada di dalam sana tengah memandangnya balik dengan tatapan aneh. Danu hanya berdehem. Salah seorang gadis dengan wajah khawatirnya segera menemui Danu ketika tahu Hera tengah berada di atas punggung laki-laki itu, Hera terlihat semakin lemah dan kesakitan. Yah, siapa lagi orang pertama di kelas yang paling peduli pada Hera kalau bukan Sukma.
"Hera!" Pekik Sukma seketika menghentikan langkahnya sembari menatap wajah pucat Hera begitu ketakutan, kemudian pandangannya beralih pada Danu yang kini malah menunjukkan raut kesal.
"Cepetan ambil dia, berat," titah Danu tak mau tahu lagi.
Meira juga Ruby ikut menghampiri Sukma tak kalah khawatir. Mereka berhenti di samping Sukma, beranjak menggapai kedua tangan Hera, masing-masing kanan dan kiri, perlahan Hera mencoba turun. Karena sudah terlampau lemas, impulsif badannya bersender di bahu Meira, tubuhnya benar-benar menggigil.
"Haciuuuh!"
"Kenapa nggak ke UKS, sih?" Tanya Meira begitu cemas sembari mengelus lengan atas Hera dengan lembut.
Sekarang, akhirnya Danu dapat bersyukur karena beban di punggungnya bisa terlepas, jauh lebih ringan. Ia berbalik menghadap Hera, kemudian tatapannya beralih ke arah Meira. "Dia maunya ke sini."