ARSHERA

Ayu Setya Rini
Chapter #28

BAGIAN KEDUAPULUHTUJUH

Satu minggu kemudian.

Bintik merah di sekujur tubuhnya yang semakin melimpah. Lelah tanpa sebab dan keringat berlebih setiap malam membuat Zia begitu resah namun, bagaimanapun ia tetap jalani semua dengan bahagia. Akhir-akhir ini dadanya semakin sesak, ia dengan sengaja membotakkan rambut sebelum peristiwa botak tanpa sengaja itu terjadi, yah, jika tahu ketakutan itu berhasil mengelabuhinya, bisa-bisa Zia semakin pesimis.

Zia memakai Beanie Hat kembali seraya tersenyum memamerkan bibir pucatnya.

"Sakit, nggak?" Tanya Arshel khawatir. Ia perlahan mengusap darah mimisan yang keluar dari lubang hidung Zia dengan hati-hati tanpa menimbulkan ringisan sendikitpun, dan kelihatannya malah Arshel yang terlihat kesakitan sendiri, seperti ikut merasakan sakit itu.

"Enggak, biasa aja," balas Zia tersenyum lebar.

"Apa harusnya aku nggak usah sekolah dulu ... Buat nemenin kamu di sini," gumam Arshel masih fokus terhadap darah mimisan itu.

Zia berdecak sebal, kedua alisnya menyatu membentuk kekesalan seketika. "Nggak usah lebay, deh, aku nggak mau jadi beban, ya, Arshel, kamu harus tetap sekolah!"

"Beban apanya, sih?" tampik Arshel setelah selesai mengusap hidung bawah Zia, pandangannya berhasil mengunci tatap Zia sembari tersenyum tipis. "Aku nggak pernah ngerasain bebannya, tuh."

Zia memutar bola matanya kesal, mengalihkan pandangan menatap jendela rumah sakit sembari bergumam menopang dagu. "Dulu katanya aku disuruh berubah ... berarti sepanjang waktu aku jadi beban, 'kan?"

Arshel semakin melebarkan senyum, kemudian menggeleng lirih, tangan kanannya meraih tangan penuh bintik merah di depannya itu, mengelusnya hingga terasa hangat.

"Itu bukan beban ... Tapi tanggung jawab," balas Arshel tak henti memamerkan senyum, dan sontak kalimat itu membuat Zia menoleh pada Arshel sedikit terkejut. "Tanggung jawab kamu ... Adalah setia dan percaya sama aku, sedangkan tanggung jawab aku ... Adalah jadi superhero dalam setiap apapun yang menimpa kamu! Jadi, aku hanya bermaksud untuk ngehindarin kamu dari sifat egois, paham?"

Zia mengangguk-angguk.

"Kamu bahas soal tanggung jawab lagi ..." Lirih Zia. "Emang kamu bisa nanggung kalau aku terlanjur nurutin ego?"

"Yaa, bisa dong, selama seseorang masih nganggap aku berharga, aku pasti akan bantu dia." Arshel tersenyum.

"Sorry, hahah, jadi bahas soal itu deh, cuma lagi terngiang-ngiang aja, agak kejauhan, sih, tapi nggak masalah kan kalau aku bahas itu?" Tampik Arshel sembari tertawa renyah.

Ia mengangguk. Manik mata Zia berubah sayu, pandangannya menunduk, tangan yang barusan digenggam Arshel kini segera ia sembunyikan. "Maaf, ya, Arshel, aku selalu nggak bisa memahami dan jadi apa yang kamu mau."

"Nggak masalah, nggak ada yang sempurna, Zia, meskipun kamu udah ngecewain atau nyakitin aku, dan aku masih tetap memaafkan ... Itu yang namanya menyukai seseorang," tegas Arshel sambil tersenyum tipis. Zia menoleh ke arah Arshel sedikit salah tingkah. "Sekarang, aku mau ubah tanggung jawab kamu, tapi kamu harus lakuin ini sampai selamanya! Fine?"

"Okay, fine." Zia kembali memutar bola mata kesal. Ia sungguh tidak suka jika dirinya harus penasaran seperti ini.

"Dengerin, ya," titah Arshel dan sontak membuat Zia mengangguk-angguk.

"Yang harus kamu lakuin sekarang adalah ... Tersenyum, optimis, banyak istirahat, percaya kalau kamu bisa, dan yang terpenting ... Percaya kalau jalan kamu masih panjang," tutur Arshel sungguh mengharapkan ucapannya dapat menjadi sebuah kenyataan.

Zia tersenyum lebar, bibir pucat itu seakan selalu luntur setiap kali ia tersenyum. Tangan kanannya impulsif mengelus rambut belakang Arshel, seperti memberitahu bahwa sungguh Zia adalah wanita paling beruntung. Ia mengangguk sebagai sebuah ucapan terima kasih.

Arshel ikut tersenyum semringah, menyeimbangkan senyum Zia saat ini. Saat seperti ini, adalah saat di mana Arshel sangat membutuhkan seorang Zia yang tidak pernah bersedih, Arshel hanya membutuhkan seuntai senyum tulus itu.

"Aku mau tanya, deh," ucap Zia sedikit gugup.

Arshel segera mengernyit. "Tanya apa?"

"Ng ...." Zia terlihat masih sedikit kebingungan dengan bagaimana cara mengatakannya. "Kalau nanti ... Misalnya aku udah nggak ada ... Kamu masih sayang sama aku?"

"Kamu ngomong apa, sih? Ya tentu lah, Zia." Arshel menghela napas berat.

"Kalau misalkan aja aku suruh kamu ... Buat berhenti suka sama aku, gimana?" Tanya Zia benar-benar khawatir kali ini. Entahlah, ia sungguh menginginkan sebuah jawaban yang masuk akal dari pertanyaannya ini.

Arshel segera menggeleng. "Nggak bisa."

"Kamu harus biasa-in biar bisa," tampik Zia dengan sedikit tawa agar suasana di sekitar tak membuatnya canggung. "Ya kali kamu tetap suka sama orang yang udah meninggal ... Emang mau ciumin mayat? Hahah!"

Lihat selengkapnya