ARSHERA

Ayu Setya Rini
Chapter #30

BAGIAN KEDUAPULUHSEMBILAN

"Sekarang, satu-satunya orang yang benar-benar berharga buat aku adalah kakakku ... Dan Arshel," lirih Zia tak hentinya mengungkapkan segala keluh kesah. Perasaannya lumayan ringan sekarang jika dibanding dengan satu jam yang lalu. Yah, tentu, di saat seperti ini, seseorang yang sedih hanya membutuhkan suatu sandaran dan meluapkan kesedihan itu sampai terkuras semua tangisnya.

"Orang tua kamu? Mereka pasti lebih berharga," ucap Hera mencoba menegarkan.

Zia menggeleng pelan, ia tersenyum kecut. "Mamah emang berharga, tapi aku hanya takut kalau mamah nggak berpikir sebaliknya."

Hera menghela napas dalam, menunduk bersedih, ia benar-benar tidak menyangka saja jika latar belakang Zia akan separah ini. Entah kenapa ia lebih merasa malu karena nasibnya sekarang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan seorang Zia, dan Zia masih sempat-sempatnya tersenyum semringah seperti tak ada satupun beban.

"Aku salut sama kamu, Zia," tutur Hera sembari perlahan mengusap air mata dikedua pipi Zia. "Aku nggak bisa sekuat kamu, aku bukan orang yang murah senyum, ceria, ataupun ramah ... Aku nggak bisa terus seperti itu."

Zia tersenyum hangat, memandang Hera dari atas sembari berucap. "Arshel pernah bilang, kalau kamu punya masa lalu yang ... Maaf, sedikit buruk."

Sontak Hera terbelalak, tangannya yang sibuk mengusap pipi Zia kini terhenti mematung. Ia begitu merasa kesal sekarang, karena Arshel bisa menceritakan tentangnya pada orang lain sampai menuju pada pembahasan semacam itu. Tidak termaafkan dasar makhluk gua.

"Tapi tenang aja, aku tahu itu privasi kamu, jadi aku nolak untuk dengerin, kadang Arshel emang suka nggak bisa ngontrol omongannya kalau udah bingung, dan dia cuman bilang soal kamu yang punya fobia." Zia melebarkan senyumnya agar ekspresi terkejut Hera segera luntur. "Aku paham, kok."

Hera tersenyum tipis setelah kekhawatirannya menghilang, syukurlah jika Zia dapat berpikir sejauh itu.

Pandangan Zia kembali menatap jendela dengan pemandangan langit yang semakin gelap. Ia tersenyum kembali, melupakan begitu saja kesedihannya. "Dari dulu ayah selalu bilang ... Mengetahui semua masa lalu seseorang kadang nggak selalu baik, lebih baik pura-pura nggak mau tahu dan lupakan aja."

"Aku percaya itu karena memang semua orang punya jalan keluarnya masing-masing dari masa lalunya, dan juga sebaiknya nggak usah di ungkit lagi, biarin sebuah masa lalu berlalu dengan semestinya," imbuh Zia.

Hera mengangguk seraya ikut menatap jendela.

"Oh, iya, Hera." Spontan kepala Zia bangkit dari senderannya, tatapan Zia menoleh pada Hera seketika sambil tersenyum lebar. Sorot matanya mengisyaratkan hendak memberitahu sebuah berita baik.

"Kenapa?" Heran Hera membalas tatap Zia.

"Tentang Arshel ... Ehm, kamu suka sama dia, nggak?" Tanya Zia tiba-tiba tanpa pikir panjang. Senyumnya begitu menitik beratkan sebuah harapan, hingga membuat Hera membeliak terkejut dan kembali mematung karena benar-benar tidak siap dengan pertanyaan tersebut.

"A-Apa ... Kenapa tiba-tiba ..." Gugup Hera begitu canggung. Sekali lagi Hera tidak menyangka kalimat semacam itu dapat terucap dari mulut Zia begitu saja dan terasa enteng. Sebenarnya apa yang dipikirkan gadis itu sampai pembahasan seperti ini saja ia dapat tersenyum selebar itu. Seorang yang memiliki kekasih seharusnya tidak berucap seperti itu bukan? Aneh.

"Kalau kamu suka sama Arshel, kamu bisa milikin dia, kok," ucap Zia begitu lembut. Sejujurnya, ia juga tidak begitu senang ketika kalimat seperti ini harus terlontarkan dengan cepat. Bagaimana lagi, tidak ada cara lain selain membiarkan semuanya mengalir seperti rencananya, walaupun ia harus bersedih, namun ketika rencananya berjalan lancar, setidaknya ia akan merasa tenang.

"Aku ...." Hera menunduk, merasakan jari-jari tangannya mulai kedinginan pertanda ketakutan mulai muncul. Ia menggeleng seketika. "Aku nggak bisa, maksudku, Arshel cuman temanku, dan hanya itu, lagian buat apa kamu bilang kayak gitu? Malah nyakitin perasaan kamu kan jadinya."

"Hera, dengerin, ya," pinta Zia ramah. Satu kakinya ia naikan di atas ranjang, menghadap Hera masih pada senyumnya setelah Hera mau menoleh. "Nggak semua orang dipertemukan untuk bisa jadi teman hidup, ada juga mereka yang dipertemukan hanya untuk jadi pengalaman di antara kisah hidup mereka."

"Dan aku ... Cuma salah satu dari mereka yang tugasnya hanya jadi sebuah pengalaman untuk Arshel, kamu pasti paham apa yang aku maksud," imbuh Zia sungguh berharap kali ini Hera mau mengerti.

Hera menelan ludah berat. Apa yang harus ia lakukan? Sementara dirinya benar-benar resah, ia memutar otak, mencari balasan apa yang tepat untuk semua ini. Apa yang Zia katakan benar ... Dan menuju pada pembahasan yang serius, pastinya Zia tidak akan main-main saat ini, namun, Hera tetap tidak tega ketika Zia harus merasa bersedih terhadap balasannya.

"Aku paham, kok, gimana keadaannya sekarang." Hera menunduk, memandang dasar lantai. "Tapi ... Untuk apa aku harus lakukan itu? Sedangkan Arshel aja benar-benar cuma nganggap aku sebagai teman baik."

Zia mengangguk kecil sembari menghela napas panjang. Tangan kanannya mengelus lembut lengan atas Hera. "Kadang, kelakuan dan ekspresi seseorang itu bisa berbanding terbalik dengan hati dan pikiran dia."

"Arshel itu sama kayak kita, dia rapuh, dia takut, Arshel lemah dengan kesendirian, tapi Arshel tetap paksa senyumnya demi agar orang-orang di sekitarnya juga bisa merasakan kebahagiaan," imbuh Zia. "Arshel hanya takut kamu nggak bahagia."

Hera mengernyit dalam tunduknya. "Kenapa?"

"Seperti yang aku bilang, Arshel akan lakukan apapun demi sebuah kebahagiaan, dia nggak mau masa lalunya terulang lagi, kalau kamu udah dipentingkan dalam kehidupan Arshel ... Itu berarti kamu nggak akan bisa pergi sebelum Arshel sendiri yang putuskan untuk kamu pergi," balas Zia.

Lihat selengkapnya