Sorot matanya memandang sekeliling area rumah sakit seraya berlarian tanpa henti. Mencari di mana keberadaan Arshel sekarang. Dalam benak Hera, ia khawatir jika tiba-tiba Arshel tengah pergi ke suatu tempat yang tak diketahuinya, kekhawatirannya sedang mengarah pada keadaan Arshel, ia hanya takut jika laki-laki itu tiba-tiba berbuat sesuatu yang membahayakan. Ia tak dapat tenang sebelum mengetahui ada di mana Arshel sekarang.
"Arshel ... Kamu di mana, sih?"
Hera sontak terhenti, saat sekelebat melihat seorang laki-laki sedang duduk dengan tenang di atas kursi hitam besi, sambil menutupi wajahnya menandakan kesedihan yang tak berujung. Entah kenapa ia sangat yakin jika laki-laki itu adalah Arshel. Hera menoleh menatap orang itu kembali sembari mengernyit meyakinkan pandangannya.
Hera melangkahkan kakinya perlahan. Otaknya terus menyertakan sebuah terka-an bahwa orang itu adalah Arshel. Ia berhenti di depan laki-laki tersebut lalu menatap Arshel dengan kesal.
"Arshel," panggil Hera lirih, dan impulsif membuat laki-laki di depannya itu mendongak memandangnya dengan manik mata yang terlihat berkaca-kaca, benar saja, dia adalah Arshel.
Arshel segera mengusap air mata yang untunglah masih sempat terbendung, kemudian menunduk sedalam-dalamnya karena rasa malu yang tiba-tiba medesak. Kenapa gadis itu bisa tahu, sih? Arshel benar-benar kesal hari ini.
"Arshel," panggil Hera sekali lagi. Tidak ada jawaban, akhirnya Hera memutuskan untuk bertindak sesuai dengan apa yang hatinya perintahkan. Ia berjongkok di depan Arshel, menatap manik mata sedih itu dengan begitu khawatir.
"Pikirkan kemungkinannya, bukan kegagalannya ... Kamu masih ingat?" Hera mencoba membuka memorinya kembali.
Akhirnya laki-laki itu mau menatap Hera, yah, walaupun tatapannya menjadi sedingin es sekarang. Ternyata seperti ini ketika Arshel benar-benar kecewa, Hera mengerti sekarang. Hera betul-betul paham apa yang Arshel rasakan sampai saat ini, jika Hera menjadi Arshel, mungkin ia akan menangis sekencang-kencangnya, memohon pada Tuhan agar memberikan sebuah keadilan. Tapi untunglah, Hera rasa Arshel masih cukup tegar untuk menerima sebuah takdir.
Arshel menghela napas gusar karena sudah tak mau tahu lagi.
"Arshel, jangan kayak gini, ya ..." Lirih Hera cemas. Tangan kanannya beranjak mengelus lengan atas Arshel sedikit lama, sedangkan si empunya hanya sibuk menahan kesal. Ia menghela napas gusar. "Haaaahh ... Padahal aku udah bilang semuanya akan baik-baik aja, tapi ... Kamu lebih milih untuk nurutin pikiran buruk kamu."
"Kamu nggak akan bisa hidup sesuai dengan kadar keinginan kamu," cetus Hera. Tangannya berhenti di atas lengan Arshel kemudian ia berdiri, duduk di samping Arshel lalu menyenderkan punggungnya di depan punggung kursi dengan begitu santai. "Dunia bukan cuma milik kamu sendiri."
"Kamu tahu apa yang paling menyedihkan?"
Arshel masih tetap diam, tetapi dengan telinga yang terbuka lebar.
"Saat kamu paham bahwa semuanya akan ninggalin kamu kecuali kesedihan kamu nantinya, dan kamu menyesal karena waktu memberi kesempatan yang singkat, kamu jatuh dan nggak ada yang peduli, kamu ingin berakhir juga tapi kamu sadar, kalau kamu masih berharga dalam kehidupan orang lain," celoteh Hera menatap lurus ke depan dengan ekspresi seriusnya.
"Itu yang kamu rasakan sekarang?" Hera menerka-nerka. Kemudian pandangannya menoleh pada Arshel yang kini tengah ikut menyender pada punggung kursi dengan sorot mata tak mau mendongak.
Hera kembali merenungi pemandangan mobil dan motor yang terparkir jauh di depannya. Ia tersenyum tipis menyeimbangkan keadaan. "Semakin lama ... Aku makin sadar, ternyata kita sama."
Sontak Arshel menoleh pada Hera dengan ekspresi datar, namun tetap dalam hatinya sedang bergemuruh mempertanyakan sebuah maksud.
"Atau ... emang pada dasarnya semua manusia sama? Selalu terbawa perasaan ... sakit hati sendirian ... pesimistis ... keras kepala ... egois ... Dan ujung-ujungnya juga sedih," cetus Hera sekali lagi, dan kali ini seketika membuat Arshel tersinggung. Apa yang Hera katakan tidak ada yang salah, hanya saja Arshel masih terlalu kesal. Menyamakan satu kehidupan dengan banyaknya kehidupan itu tidak baik, untuk apa diciptakannya manusia normal jika masih ada keanehan dalam diri mereka masing-masing.
"Gue nggak perlu pura-pura baik-baik aja ... Sedih bukan berarti buruk," tampik Arshel, dan impulsif membuat Hera menoleh padanya, mengangguk setuju sembari tersenyum tipis. "Lagian, orang-orang cuma tahu seberapa berharganya kita saat kita udah nggak ada, mereka bakalan bicarain kebaikan kita, bela kita, bahkan rela nangis demi agar kita kembali, tapi sayangnya kita nggak bakalan tahu."
"Iya," singkat Hera.
Arshel kembali menunduk. "Gue mau tanya sekali lagi."
"Gue berarti nggak, sih, buat lo?" Imbuh Arshel, terdengar begitu dalam dan menekan. Entahlah, kenapa ia sungguh ingin tahu jawaban tentang pertanyaannya ini.
Hera mencoba memutar otak saat pertanyaan itu tiba-tiba terlontarkan kembali. Ia melebarkan senyumnya sembari menghela napas singkat. "Aku akan kasih tahu kamu."
Arshel menoleh ke arah Hera seperti bersiap untuk menyimak.
"Ibaratnya, seperti seekor kucing. Kucing dan bulunya. Kucing itu akan ngerasa nggak nyaman saat nggak ada bulu, dan sebuah bulu akan rontok ketika seekor kucing udah nggak ada, mereka saling melengkapi, 'kan? Kucing adalah cinta pertama sang bulu, dan bulu adalah cinta pertama kucing."