ARSHERA

Ayu Setya Rini
Chapter #34

BAGIAN KETIGAPULUHTIGA

Danu menyaku kedua tangannya sembari berjalan santai, keluar dari kamar mandi tanpa sedikitpun mencurigai sekitar. Ia berjalan begitu saja, berbelok ke arah kelas dan sudah, tak terlihat lagi batang hidungnya. Aura kesal bercampur kecewa kini terpancar jelas. Bagaimana tidak mungkin Danu tidak malu dengan apa yang ia cetuskan barusan. Karena kecemburuan bodohnya, dengan spontan ucapan gila itu terucap. Udahlah, ngga usah dibahas lagi, pikir Danu tak acuh.

Tak sadar akan Arshel yang sedari tadi sedang memandang kepergian Danu, melipat kedua tangan di depan dada, bersender di depan tembok kamar mandi dengan wajah keheranan. Sudah sekitar setengah jam ia berdiri di sana, dengan perasaan dongkol dan penasaran yang sepertinya tak akan hilang jika sudah ada kaitannya dengan Danu.

"Ada apa sebenarnya ...."

Sedangkan Hera sekarang, ia menunduk dengan perasaan yang campur aduk, wajahnya memerah, degup jantungnya tak berhenti berdetak hebat mengiringi sesaknya yang mulai mencekik. Pusing tak berujung hingga sampai pada finalnya, perut Hera bergemuruh mual sampai pada akhirnya gejolak muntah semakin menjadi.

Ia segera membuka pintu kamar mandi perempuan, berjongkok di depan kloset duduk, dan bersiap untuk memuntahkan segala ketakutannya.

"Hueek!"

Arshel benar-benar mengernyit saat mendengar sebuah suara yang terasa aneh di telinganya. Suara itu terdengar dari arah kamar mandi. Ia sedikit mengintip.

"Hueek!"

Sontak Arshel segera berlari kecil memasuki kamar mandi tanpa peduli yang ia masuki sekarang adalah kamar mandi perempuan. Ia terkejut bukan main setelah mendapati Hera tengah berjongkok menghadap kloset duduk sembari sibuk mengeluarkan segala isi perutnya.

Tanpa basa-basi lagi, Arshel masuk ke dalam kamar mandi lalu ikut berjongkok di belakang Hera dengan raut begitu khawatir. Ia mengelus punggung Hera, berkali-kali menepuknya pelan, kemudian bertanya. "Lo kenapa, Hera?"

Hera menggeleng seraya tersenyum, menekan dual flush di kloset itu, menelan ludahnya yang pahit sembari menetralkan napas sejenak, kemudian menoleh ke belakang menatap Arshel dengan mata sayunya. Entah, Hera juga sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi padanya, hanya saja ... Sejak kalimat "suka" itu mulai terngiang, Hera menjadi semakin ketakutan.

Tangan Arshel yang awalnya berada di atas punggung Hera, kini beranjak meraih pergelangan tangan kanan gadis itu dan menatapnya dalam-dalam, berharap agar Hera mau menjelaskan dengan rinci.

Hera berdiri diikuti dengan Arshel. Tatapan mereka belum kunjung terputus, sampai pada akhirnya Hera menunduk sembari mengusap mulutnya yang basah dengan tangan satunya. Ia merasa begitu tertekan, ketakutan, khawatir, sampai segitunya ketika Hera hanya mendengar kata suka dari seorang Danu. Padahal dari dulu, Hera benar-benar berharap jika yang mengatakan itu adalah ... Laki-laki di depannya ini. Sungguh ... Hera hanya menghayal.

"Fobiaku sedikit kambuh, tapi sekarang udah mendingan, kok." Hera mendongak dengan senyum tipisnya.

Arshel hanya bungkam. Menatap Hera tanpa ekspresi, bahkan genggaman tangannya semakin erat. Dapat ditebak jika Arshel tengah kesal kali ini. Entah kenapa, tiba-tiba ia tergerak untuk melakukan suatu tindakan yang brutal terhadap Danu saat melihat keadaan Hera yang seperti ini saat setelah bertemu dengan laki-laki dingin itu. Namun, di sisi lain Arshel juga tidak tahu apa penyebab fobia Hera bisa kambuh.

"Maaf, selalu bikin kamu khawatir, tapi aku ngga bermaksud begitu ..." Lirih Hera dikala tunduknya.

Tanpa basa-basi lagi. Arshel berbalik, genggamannya tak terlepas, dan impulsif pemilik tangan yang digenggam itu mengikuti ke mana arah Arshel membawanya, meninggalkan sebuah gelas air lemon di atas wastafel. Seperti yang Hera duga, Arshel pasti akan mengira sesuatu yang lain telah terjadi padanya. Ia tahu bagaimana Arshel, dan Arshel tidak akan menyerah sebelum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Arshel memerintahkan Hera duduk di atas bangku kantin menggunakan isyarat sorot matanya, Hera lakukan. Kemudian, Arshel pergi menuju kerumunan antrian yang hampir sepi itu, ia terpaksa menerobosnya begitu saja. Sial, ternyata orang normal pun seakan-akan enteng untuk melakukannya. Hera hanya dapat memandangi Arshel seraya meratapi kepalanya yang pening.

Lihat selengkapnya