Hera menoleh ke arah belakang bersama wajah khawatirnya, deru napas terengah-engah kala langkah kakinya yang semakin melemah. Ia sekuat tenaga terus berlari tak peduli harus sesakit apa kakinya ini. Sial. Jarak dari rumahnya masih sangat jauh. Hera betul-betul menarik kata beruntung dan merubahnya menjadi penyesalan. Seharusnya ia menyadari bahwa tidak sedikit kejahatan di luar sana, apalagi malam-malam seperti ini. Bodoh. Bodoh. Bodoh.
Laki-laki itu tak ingin mengalah, ia terus mengejar Hera dan semakin cepat. Seringainya kembali muncul saat hampir menemui punggung gadis itu.
Dug!
Hera jatuh tersungkur dengan lututnya yang linu akibat terbentur tanah. Batu sialan. Ia meringis kesakitan saat mendapati tulang keringnya malah terasa linu dan perih. Namun, Hera tak mau menyerah begitu saja, ia berdiri, berlari kembali, tetapi sayang pendapat bahwa Hera tengah terluka adalah benar, dan sekarang ia berlari dengan kaki yang pincang. Dan tetap, kantung belanjanya adalah sebuah prioritas yang harus terus dilindungi. Persetan dengan kakinya yang perih, nggak peduli! Besok juga udah mendingan! Pikir Hera.
Grep!
Hera terhenti seketika, membeliak ketakutan saat tiba-tiba pergelangan tangannya tengah digenggam oleh tangan besar seseorang. Ia semakin ketakutan hingga ingin menelan ludah saja sulit rasanya. Spontan Hera menoleh ke belakang dan benar, laki-laki misterius itu sedang menggenggam tangannya. Hera mencoba melepas genggaman itu dengan sekuat tenaga, namun sialnya laki-laki itu malah mengeluarkan sebuah pisau haller di dalam saku celana jeans-nya.
"Mau kamu apa, sih? Lepas!" Hera tetap berontak.
Dan spontan laki-laki itu mengarahkan pisaunya di depan leher Hera yang impulsif membuat Hera terdiam setengah mati, memandang pisau itu begitu ketakutan. Sungguh Hera sama sekali tidak membayangkan jika pada akhirnya akan seperti ini. Kedua tangannya benar-benar lemas diikuti dengan keringat yang semakin bercucuran pada pelipis.
"Gue harap lo bisa diam," lirih laki-laki itu.
"S-Salahku apa?" Tanya Hera kebingungan.
Laki-laki itu mendongak menatap Hera dingin, membuka hoodie, memamerkan wajahnya agar membekas dalam benak Hera. "Salah lo ... Adalah nggak mau nurut."
Hera mengernyit. Kedua matanya bergetar menandakan ketakutan yang semakin mendalam. Pikirannya tiba-tiba terarah pada sebuah teror yang sempat ia peroleh itu. Atau jangan-jangan—
"Kamu yang ...."
"Gue. Gue yang kasih semua penderitaan, yang akhir-akhir ini lo terima," tampik laki-laki itu tak lepas dari seringai. Ia lebih mendekatkan pisau tersebut ke arah leher Hera hingga membuat gadis itu memundurkan kepalanya ketakutan. "Dan demi situasi berjalan normal lagi, gue mau ... Jauhi Danu sekarang juga."
BUG!
Serentak, genggaman tangan laki-laki tersebut terlepas, berbarengan dengan tubuhnya yang terhempas jauh setelah merasakan betapa sakit tendangan keras yang entah datang dari mana. Punggungnya kini terasa remuk, pisaunya terjatuh jauh terpental di depan, namun ia tak berhenti begitu saja. Laki-laki itu menoleh menghadap siapa orang yang berani-berani menendang punggungnya begitu saja.
Hera segera menghindar saat tubuh laki-laki itu hampir menabraknya. Ia mendongak menatap superhero dengan kaki jenjang serta tendangan keras itu. Kenapa ... Danu? Oh, Tuhan, jika benar ini sebuah keberuntungan, Hera akan bersyukur sepenuh hati, tapi jika situasi yang didapatkannya semakin rumit, Hera akan pasrah saja.
Danu memandang laki-laki itu begitu geram. Mata elangnya tak terlepas dan terlihat semakin mengernyit saat mengetahui siapa orang tersebut. Kedua tangan Danu mengepal keras menandakan sebuah kekesalan. "Rio?"
Begitu pula dengan laki-laki yang diketahui bernama Rio tersebut, ia sontak tertegun dengan wajah sedikit cemas, namun segera ia tutupi dengan seringainya. Segera ia bangun, sedikit merintih karena punggungnya terlalu perih untuk berdiri tegak. Rio berjalan mendekati Danu, kembali melebarkan seringai.
"Akhirnya ... Kita ketemu lagi," ucap Rio lalu berhenti di depan Danu, mengunci tatapannya begitu dalam dan terlihat menjengkelkan.