"Kamu punya pacar ...."
"Tapi kenapa kamu baik ... sama aku?"
Arshel sedikit tertegun ketika mendengar pertanyaan semacam ini. Ia menelan ludah gugup, kaki kanannya tak bisa berhenti bergetar menandakan kekhawatiran, ia menunduk seraya memutar otak. Sebenarnya, pertanyaan semacam ini bisa saja mengarah pada hal lain, namun kali ini entah kenapa Arshel yakin kalau Hera tengah menuntut tentang perasaannya, karena Arshel tahu, Hera memang suka padanya. Dan hal itu sama sekali tak memengaruhi Arshel untuk merubah perasaan apapun terhadap siapa saja. Hahah, cinta bertepuk sebelah tangan memang sakit.
Ia mendongak, menatap kedua bola mata Hera dalam-dalam, juga sedikit menghela napas karena suasana semakin mengerikan di sekitarnya. "Cinta itu hanya bisa di miliki oleh satu orang ...."
"Tapi nyaman, setiap orang pasti akan mudah ngerasainnya," imbuh Arshel tak lepas dari tatapannya. "Lo tahu, setiap orang yang baik sama lo ... Bukan berarti mereka punya niat untuk ambil hati lo, bisa aja tulus dari hati mereka emang mau berbuat baik."
Hera mengernyit seperti tengah menemui suatu keadaan di mana dirinya harus berpikir dua kali. Apa yang Arshel katakan benar, tapi apakah Hera harus senang ... Karena Arshel nyaman padanya? Ataukah Hera harus sedih ... Karena Arshel hanya menganggap itu nyaman. Tapi, Hera juga tidak terlalu memaksa perasaannya sekarang, toh, Arshel bukan hanya diinginkan oleh satu orang saja, bukan hanya Hera yang menyukai Arshel.
"Tapi kenapa harus melampiaskan pada satu orang ... yang tahu dia suka sama kamu? Dan kenapa kebaikan selalu disalah artikan?" Tanya Hera sekali lagi. Balasan dari Arshel tidak cukup meyakinkan perasaannya. Jadi, bagaimanapun caranya Hera harus memahami dengan jelas dan tetap mencari tahu.
"Karena ...." Arshel menunduk, kembali memeras otak sampai pada akhirnya ia mendongak dengan wajah getir. "Gue ngerasa gue belum sepenuhnya di cintai ... Oleh orang yang sekarang gue suka, dan kebaikan sendiri ... Gue rasa kebaikan emang punya dua tujuan, untuk dikenang dan untuk minta imbalan, jadi mereka yang mau berbuat baik akan lakuin apapun untuk tujuan mereka."
Hera semakin mengernyit, kemudian mengangguk untuk jawaban tentang sebuah "kebaikan"itu. Namun, kembali kepada topik awal, apakah yang dimaksud adalah Zia? Tapi jika dilihat dari perspektif Hera sendiri, Arshel terlihat sangat mencintai Zia, begitu juga sebaliknya. Apakah Arshel hanya berkilah? Astaga, Hera terlampau pusing hanya karena memikirkan hal aneh seperti ini.
"Kenapa?" Hera lagi-lagi mempertanyakan hal bodoh itu. "Zia itu sempurna."
Arshel kembali menunduk. Mendengar nama itu sontak membuatnya teringat akan kesalahannya. Benar. Zia adalah seorang gadis yang benar-benar paling sempurna yang pernah Arshel temui. Zia adalah tipe wanita yang memang Arshel inginkan, hanya saja ... Arshel selalu bertingkah bodoh seperti apa yang hendak ia lakukan sekarang. Menyalahkan keadaan yang sebetulnya sudah tahu bagaimana akhirnya, berlaku seolah-olah tak setara.
"Zia emang sempurna." Arshel mendongak sembari memaksakan senyum. "Sampai bukan hanya gue yang suka sama dia."
Hera mengangguk paham. "Jadi hanya karena itu ... Kamu mau menerima sebuah kenyamanan yang baru, yang bahkan jauh dari kenyamanan yang sebelumnya?"
"Gue hanya ... Setiap saat selalu rindu dia, dan dengan gue berpikir kalau ada cewek lain di sisi gue, itu bakalan bisa jadi pereda." Arshel mengangguk pelan.
Benar-benar di luar dugaan. Hera hanya tidak menyangka saja, ternyata seorang Arshel juga dapat melakukan hal se-licik ini. Dan itu berarti ... Hera benar-benar hanya dianggap sebagai sebuah pereda saja, tapi entah kenapa, Hera tidak merasakan demikian, ia merasa lebih dari itu. Sudahlah, semuanya sudah jelas, yang Hera butuhkan saat ini hanya sebuah jawaban dari pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di kepalanya.
Arshel memandang tegas ke arah Hera walau tak benar-benar ditanggapi oleh gadis itu. Ia berdiri, tiba-tiba berjongkok di samping Hera, kemudian menunduk layu. Yang benar saja, Hera sungguh terkejut bahkan kebingungan dengan tingkah aneh manusia ini.
"Gue ngga peduli ... Kalau lo pikir gue jahat, intinya, gue ngga mau lo hidup penuh rasa sakit hanya karena salah paham." Arshel mengetuk tempurung kepalanya sendiri. "Silakan pukul gue semau lo."
Hera segera menggeleng bersama rautnya yang tegang. Apa-apaan, berlebihan sekali Arshel ini.
"Ayo, gue tahu gue brengsek, gue pantas lo benci, bahkan lo boleh tonjok gue sampai lo puas," lirih Arshel tak mau mendongak. Meratapi ke-egoisannya selama ini, hanya itu yang sampai saat ini Arshel pikirkan. Bodohnya, ia baru menyadari sekarang.
"Apa, sih, Arshel," tampik Hera kesal, kemudian ia berdiri. Tak dapat dipercaya seorang Arshel dapat berbuat seperti ini. Hera ikut berjongkok di depan Arshel, dan sontak membuat laki-laki itu menatapnya. "Jangan drama, deh."
Kedua alis Arshel saling bertemu kebingungan. "Ha?"
"Aku kan cuma tanya ... Emang aku suka apa sama kamu?" Hera membuang pandangan malas seraya menggeleng pelan. Demi apapun, segala kelakuannya ini hanyalah terpaksa untuk menutupi rasa sakit. Miris.
"Maaf, Arshel, kalau aja kamu tahu jika menaruh perasaan pada teman akan sesulit ini ... Mungkin kamu juga akan paham ... Kalau aku bohong."
Arshel semakin mengernyit. Kernyitan itu seperti membawa pertanda buruk. "Enggak?"
Hera mengangguk.
"Ngangguk itu IYA apa ENGGAK?" Tanya Arhsel sekali lagi.
Pandangan Hera kembali pada Arshel, berlagak sok tegar sekarang. "Eng. Gak!"
"Gue tahu lo bohong."