"Ruby ... Dia juga kenal Rio," singkap Hera sembari mengusap wajah gusar, benaknya begitu kacau harus bagaimana lagi menanggapi permasalahannya yang semakin rumit. Di saat Hera mencoba untuk mengabaikan, masalah itu seakan mencari-cari hingga Hera kembali pusing tujuh keliling seperti saat ini. Mana mungkin tidurnya akan tenang jika pikiran santainya saja terusir oleh permasalahan itu.
"Ruby?" Danu mengingat-ingat tentang gadis itu. "Maksud lo ... Cewek jutek itu?"
Hera mengangguk lemas. Ia menyender di depan punggung kursi taman lalu menghela napas panjang. Malam ini benar-benar malam yang sibuk bagi otak Hera untuk terus berpikir, mencari tahu sebuah kebenaran yang tidak pasti. "Aku hanya takut kalau misalkan apa yang dikatakan Rio itu benar."
Danu mengangguk paham.
"Lo ngga nanya dari mana dia kenal sama Rio?" Tanya Danu memastikan, dan hanya sebuah gelengan yang ia dapat dari gadis di sampingnya ini.
"Nggak mungkin aku berani tanya begitu," tampik Hera begitu saja.
Kedua tangan Danu saling bertaut, kemudian menghela napas jengah. Ia memutar otak, mencoba mencari cara untuk dapat mengetahui lebih tentang gadis dingin tersebut.
"Bilang sama Ruby, gue mau ketemu dia besok," ucap Danu segera sembari menoleh pada Hera, menunjukkan raut serius seakan ucapannya tak dapat diganggu gugat.
Hera mengernyit kebingungan. "Kamu mau ngapain?"
"Udahlah, bilang aja sama Ruby."
"I-iya."
***
Minggu, 09.07
Hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, di mana seorang Danu yang kegiatan selama hari minggu adalah tidur sampai matahari tenggelam, kini ia terpaksa harus bertemu dengan seorang Ruby. Tentang apa yang kemarin Hera katakan, dan fakta bahwa Ruby mengenal Rio, yah, Hera dan Danu sepemikiran bahwa Ruby patut untuk dicurigai, tetapi Hera selalu berpesan ... untuk tidak seenak otak udang menuduh seseorang dalam masalahnya, dan Danu paham itu.
"Ada apa?" Tanya Ruby memecah hening. Ia melipat kedua tangan di depan dada, menatap dingin ke arah Danu yang kini juga membalas tatapannya. Entahlah sudah belajar bertelepati dari mana, hanya isyarat mata mereka yang bergerak. Melihat dua orang memiliki sikap yang sama bertemu, membuat situasi semakin canggung saja.
Danu berdehem, kemudian melihat keluar jendela Kafe, alih-alih untuk mengulur waktu sejenak agar Danu dapat memikirkan sebuah permulaan yang tepat, yah, tahulah bagaimana sifat Ruby.
"Bentar lagi gue mau cabut," cetus Ruby semakin geram.
"Oke." Danu kembali memandang Ruby sembari memajukan kursinya. Seperti apa yang Danu khawatirkan, sesuatu yang berhubungan dengan Ruby tidak akan ada yang bisa santai. "Gue mau tanya."
" ... Dari mana lo kenal Rio?" Tanya Danu tanpa pikir panjang.
Ruby mengernyit, tatapannya seketika menunduk, ia memeras otak seakan-akan pertanyaan itu sedikit mengganjal. Sekilas ia juga berpikir ... Kenapa Danu bertanya semacam itu? Jika begitu, Danu juga tahu siapa Rio, yah, mustahil juga jika tidak. Tapi apa maksudnya sih? Ruby benar-benar kebingungan dengan situasi tidak jelas apa yang sedang merundungnya sekarang.
"Gue ngga kenal dia," balas Ruby sembari menggeleng kecil. "Kita cuma pernah ketemu."
"Ketemu?" Danu terheran-heran, kemudian diangguki begitu saja oleh Ruby.
"To the point, mau lo apa?" Cetus Ruby sekali lagi. Ia sungguh muak ketika ada orang yang suka sekali berbelit-belit.
Danu menghela napas gusar. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja Kafe kemudian membalas pertanyaan Ruby segera. "Tentang teror Hera, kemarin gue ketemu sama Rio saat dia lagi ngelakuin aksinya, gue kira dia punya dalang."
"Maksud lo ...." Ruby kembali memutar otaknya yang tiba-tiba mengarah pada pemikiran nan terdengar begitu bodoh. "Lo nuduh gue?"
"Gue ngga mau bermaksud begitu, gue cuman penasaran aja." Danu menggidikan bahu.
"Oke." Ruby mengangguk-angguk, kedua tangannya terlepas dari lipatan lalu beranjak terlipat kembali di atas meja Kafe. Pandangannya menatap Danu lekat seperti serius dengan apa yang hendak dilontarkannya. "Yang pertama, gue nggak ngelakuin semua itu, dan nggak ada gunanya juga gue nglakuin itu."