"Halo?"
Apa yang mesti dilakukannya sekarang? Danu benar-benar kalang kabut harus memberitahukan Arshel dari mana saat ini. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja saking kebingungan. Pertanyaan paling mengerikan bagi Danu saat ini adalah di saat Arshel tengah menanyakan keadaan adiknya. Entahlah, ia sungguh sudah menyangka akan jadi seperti ini.
Danu menghela napas sejenak, kemudian mulai membalas. "Dia nggak apa-apa."
"Bener?"
"Iya."
"Tapi kenapa dia nggak pernah balas chat gue?"
Telapak tangan Danu yang sedari tadi berada di atas meja, kini mengepal keras. Ia menunduk meratapi kegugupannya sekarang. Melipat kedua sudut bibirnya karena tahu ini tidak akan mudah.
"Lo bohong?"
Danu tertegun. Ia menanap menatap layar handphone-nya. Memencet tombol merah untuk mengakhiri panggilan itu sepihak. Ia kembali menghela napas lega. Tangan menggenggam handphone itu beranjak ke atas kening. Mendongak menatap langit-langit sembari berfikir. Laki-laki dingin itu terlihat kebingungan walau dari luar terlihat sangat-sangat santai.
"Apa yang harus gue lakuin?" Gumam Danu cemas.
Drrt Drrt
Handphone Danu kembali bergetar. Ia menghadap depan seraya melihat layar handphone kembali. Danu mengernyit ketika dirinya tengah mendapatkan suatu pesan dari mamahnya.
"Sh*t!!!" Danu spontan membanting handphonenya di atas meja. PRAKK! Sungguh tidak dapat dipercaya jika keadaannya akan separah ini. Kalau bukan karena Danu yang lengah mungkin Zia akan baik-baik saja saat ini. Dan begitulah ketika dirinya terus menyalahkan diri sendiri. Dada Danu terlihat kembang kempis serta helaan napasnya yang berat. Kedua tangannya memijat pelipis untuk menenangkan benaknya sekarang.
Persetan dengan handphone Danu yang untunglah terlihat baik-baik saja. Sekarang otaknya sungguh penuh pada pertanyaan tentang apa yang harus ia lakukan di sini. Danu sendirian dan merasa tidak berguna. Ia ingin meluapkan segala keluh kesahnya namun pada siapa. Astaga, menjadi seorang yang dingin memang tidak terlalu se-menguntungkan memeluk guling dan merasa hangat. Dan terjatuh sendiri seperti ini semakin membuat Danu percaya bahwa dirinya memang tidak layak diandalkan.
"Kakak macam apa gue ..." Lirih Danu kemudian perlahan berdiri. Ia melangkah menuju kamar tidurnya tanpa memikirkan apapun lagi terkecuali dengan kesalahan-kesalahannya seharian ini.
***
Saat ini, kedua laki-laki tampan itu sedang duduk di atas tribun lapangan basket, memandangi para manusia sedang bermain di sana. Entah kenapa tiba-tiba saja Danu mengajak Arshel untuk bertemu. Dan jika begitu, pasti Danu hendak memperbincangkan hal serius. Seperti sekarang, suasana di antara mereka sedikit canggung karena sudah hampir 10 menit mereka terdiam. Bagi Danu mungkin memandangi lapangan basket adalah hal yang menarik sebab ia menyukai basket namun, lain halnya dengan Arshel yang masih beberapa menit saja sudah dapat merasakan kebosanan itu.
"Gue tanya sekali lagi, gimana keadaan Zia?" Tanya Arshel untuk memulai suatu pembicaraan. Ia menoleh pada Danu sejenak, lalu kembali menghadap depan saat Danu hendak menjawab.
"Seperti jawaban gue kemarin," balas Danu apa adanya.
Arshel menggeleng pelan, menunduk sebagai bentuk penyesalan. "Perasaan gue nggak enak."
Danu menghela napas berat. Ia berdehem untuk mencairkan suasana. Kedua tangannya beralih terlipat di depan dada, dan sibuk memandangi arah bola yang tengah berjuang masuk ke dalam ring.
"Gue mau bicarain soal rencana Zia," ucap Danu segera. Hal itu sontak membuat Arshel menoleh padanya dengan gelagat khawatir.
"Jangan bahas itu," cetus Arshel kemudian menunduk lesu. Jari-jarinya saling bertaut gugup seketika. Ia memandangi sepatunya yang tak bisa berhenti bergerak.
"Gue mau lo turutin keinginan Zia secepatnya," titah Danu tanpa pikir panjang.
Arshel menggeleng-geleng muak dalam tunduknya. "Gue nggak bisa."