Jika dikatakan hidup seorang Aiza itu monoton, ya jelas tidak. Karena apapun yang ingin ia lakukan pasti akan terlaksanakan. Namun di beberapa waktu ia bisa saja merasakan yang namanya bosan.
Seperti saat ini. Moodnya sedang tidak begitu bagus dikarenakan ia hampir menabrak seorang lelaki yang tidak lain adalah mantan gebetannya di semester 1 dulu.
Namanya Bian.
Ditambah lagi hari ini adalah kelas olahraga, maka tingkat kebosanan dan moodnya yang hancur lebur bercampur menjadi satu.
“Aiza, masih mau disini?” tanya Icha yang sudah kembali dari lapangan voli.
“Hm, lagi gak mood,”
“Cerita sini. Ada apa sih?”
Aiza menghempaskan tubuhnya ke sebelah Icha. Ia segera menyenderkan bahunya.
“Tadi hampir nabrak orang,”
Mata Icha membulat dengan sempurna, “Terus gimana? Jatuh gak kamunya? Duh kok bisa sih,”
“Gak jatuh, kan hampir—Masalahnya tadi hampir nabrak Bian, Cha,”
Kalau sudah membicarakan perihal lelaki itu, Icha rasanya ingin mendatanginya lantas menonjok pipinya agar ia tahu betapa berharganya seorang Naraiza Sabhira.
Bukannya apa. Semua orang juga tahu jika Bian menggantungkan perasaan Aiza selama hampir 4 bulan. Mungkin dikarenakan Aiza belum pernah pacaran sebelumnya sehingga ia bisa berlaku semena-mena.
“Kalo tadi ada aku pasti udah kutonjok pipinya,”
“Jangan, aku kan udah move on. Biarin aja dia,”
“Aiza!”
Aiza menoleh, ada Davina dilapangan voli sedang melambaikan tangan kanannya.
“Temenin aku yok!” teriaknya. Perempuan itu memang tidak ada malu malunya.
“Kemana?” balas Aiza berteriak.