Beberapa orang lebih memilih untuk dicintai daripada mencintai. Karena mereka tahu bagaimana rasanya ketika cinta bertepuk sebelah tangan, atau lebih pedihnya lagi ketika hati mereka digerogoti oleh rasa iri dan dengki yang berapi-api karena cinta yang mereka khayalkan ternyata bukanlah milik mereka.
Dicintai oleh seseorang rasanya memang sangat sempurna. Banyak yang mengatakan kalau cinta bisa datang kapan saja, entah itu ketika sedang mengerjakan tugas bersama-sama, atau sedang makan dikantin.
Namun ada juga yang lebih memilih untuk mencintai daripada dicintai. Mereka yang menganut paham ini mengerti jika tak semua cinta bisa dipaksakan. Mencintai bukan berarti meminta mereka untuk membalas apa yang sudah kita berikan.
Semua sudah ada konsekuensinya.
Memilih berarti harus berani mempertahankan pilihan tersebut.
Dan Aiza yang memilih untuk mencintai dalam diam, tentu saja dengan senang hati akan mempertahankan pilihan tersebut. Meskipun di suatu waktu bisa saja ia menyerah dan lebih memilih untuk bersama orang lain.
Aiza mengadah kearah langit, hari ini tidak terlalu cerah namun tidak terlalu gelap. Mendung. Ia baru saja melangkahkan kaki keluar dari warung serba ada bersama Icha.
Mereka membeli beberapa cemilan untuk disantap didalam kelas. Kebetulan saat ini tidak ada guru yang mengajar. Entah sudah berapa kali kelas mereka selalu kosong.
“Tau gak sih? Semalem kan Gino nemenin beli martabak Bangka di tempat biasa, nah aku ketemu sama Hamid dong,”
Hamid adalah mantan pacar Icha ketika masih berada dikelas 10. Mereka hanya berpacaran sekitar 3 bulan, setelah itu mereka berpisah. Aiza tahu karena Icha yang menceritakan hal ini.
Mereka saling terbuka satu sama lain.
“Dia sendirian? Kok bisa ketemu ya?” tanya Aiza penasaran.