Ini adalah hari terakhir ujian penaikan kelas yang dilaksanakan di sekolah Aiza. Hanya ada dua mata pelajaran yang diujikan. Pendidikan jasmani dan seni budaya.
Menurut Aiza tidak harus begitu serius untuk mengisi jawaban tersebut. Karena sudah dipastikan nilai-nilai mereka dalam dua mata pelajaran tersebut akan tinggi. Kalau seperti Matematika belum tentu nilai mereka yang mengerjakan secara serius akan tinggi.
Rahasia ilahi.
“Aizaaa!”
Itu adalah suara Icha. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali berjumpa. Dari sudut lorong kelas 11 IPS, Icha berlarian seperti anak kecil menuju Aiza yang sudah merentangkan kedua tangannya; siap untuk memeluk erat tubuh teman sebangkunya itu.
“Aku kangen banget!” mereka saling berpelukan.
“Aku juga. Akhirnya kita ketemu,” seru Aiza belum melepas pelukannya.
“Gimana kabar kamu selama ujian? Ada yang ganggu gak? Pokoknya kamu harus cerita semuanya yang kamu rasain selama ujian,” desak Icha.
“Pelukan mulu. Nanti sesak nafas,”
Itu adalah suara Willi. Ah, sulit untuk diceritakan tapi setelah pertemuan singkat antara Willi dan Aiza didepan kelas 10 IPS lalu membuat mereka terlihat begitu dekat. Terlebih lagi ketika Aiza menerima tawaran Willi; mengantarkannya pulang kerumah dengan selamat dan sentosa.
Dikarenakan hal itu kemana pun Aiza pergi pasti ia akan ikut menemani. Padahal kelas ujian mereka tergolong agak jauh. Contohnya seperti sekarang.
“Syirik banget sih,” dumel Icha. “Eh, kok lo disini?”
Willi mengangkat kedua bahunya, seolah memberi jawaban gak tahu.
“Aiza, kita beli cemilan yok!”
Aiza dengan senang hati mengangguk cepat. Sudah lama sekali ia tidak pergi ke warung serba ada bersama Icha. Selama ujian berlangsung, ia selalu pergi ke kantin bersama Willi. Itu pun karena ia dipaksa.
“Willi, aku ke waserda dulu ya. Kamu mau ikut?” tanya Aiza kepada lelaki yang masih setia disampingnya.
“Enggak. Aku disini aja. Ada Irfan juga—Nanti kesini lagi kan?”
“Iya, nanti kesini lagi kok,”